Tuesday 11 June 2013

my self scumbag

Aku melihat kematian begitu indah.
Bulat pucat purnama di langit yang gelap.
Memenuhi rongga langit yang temaram dengan aroma dupa mistik yang misterius.
Aku melihat kematian begitu indah.
Lembut mengalir bening, membelai batu gamping warna krem yang berserak di dasarnya
Menciptakan riam2 kecil.
Membuat laju sepotong daun kering yang hanyut terguncang dan tertahan-tahan. Lalu dengan sayap lembutnya, mengepak empuk dan terbang ringan melayang hampa.
Di tengah gurun tandus dia berkelana menunjukkan jalan pada setiap langkah pengelana yang tersesat.
Gurun yang hanya menyisakan udara panas dan angin kuat berdebu.
Yang menjelmakan hasrat liar dengan dominasi pada hidup.
Bahkan hingga hari ini aku masih melihat kematian begitu indah.
Tanpa harus ada darah yang tumpah dan nadi yang terkoyak.
Tanpa harus ada tubuh yang tergantung kaku diatas kusen berdebu.
Kematian melayang perlahan dan hinggap di lubuk kalbu yang mulai enggan untuk berdetak secara teratur.
Hanya tubuh yang diam terbaring tenang.
Seperti tidur panjang yang nyenyak dengan mimpi indah tanpa akhir.
Dan kini keindahan itu memelukku.
Menyergap lembut dari belakang dan mendekapku erat penuh hangat.
Seperti kekasih yang menumpahkan segala rasa rindu.
Ada tangisan bahagia dan kecupan rasa suka.
Lalu kematian memasangkan kedua sayap mungilnya di belakang pundakku.
Memberikan padaku mahkota bercahaya.
Lingkaran bersinar yang melayang tepat diatas kepalaku.
Aku seperti dewa matahari.
Seperti dewa matahari badanku melayang ringan dan bercahaya penuh kharisma.
Memendar dalam dingin dan udara yang tak berasa apa-apa.
Aku melihat kematian sebagai serpihan dari puzzle yang harus dirangkai satu-persatu.
untuk mendapatkan sebuah rupa yang utuh dan sempurna.
Kematian maksimal.
Kebebasan sejati.
Dari rasa sakit.


“kemaren tuh saya udah punya firasat ga enak banget. ‘ga biasanya tiba-tiba pengen dengerin radio lalu tiba-tiba ada orang yang request lagunya Burgerkill. Dalam hati saya bilang dasar orang ‘ga tau diri. Tau engga sih dia kalo vokalisnya lagi sekarat di rumah sakit.”
Sepenggal kalimat itu meluncur dari mantan kekasihnya Ivan. Bersama suara yang terisak dan mata yang sembab. Satu hari menjelang Ivan meninggal. Dan dia bicara ketika jasad Ivan yang terbungkus kafan mulai diturunkan keliang kubur. Merengkuh takdir, dijemput oleh sebuah kehidupan yang entah seperti apa. Diiringi tatapan berkaca-kaca dan isak tertahan beberapa teman. Bersama doa-doa pengantar hidup selamat diakhirat kelak. Hari itu Jumat tanggal 28 Juli 2006 tepat pukul sembilan pagi semua yang menghadiri pemakaman punya perasaan dan keresahan tersendiri. Tentang dirimu.
Setelah terserang insomnia akut selama beberapa hari, jam enam pagi aku paksakan untuk segera ke rumah sakit. Setelah kemarin sore aku menerima kabar tentang kondisi terakhirmu. Beberapa buah apel kubawa sebagai bekal sarapan. Begitu sampai kutemui beberapa orang yang selalu setia menjaga Ivan. Kekasih Ivan dan adik-adiknya. Mengajak sarapan apel dan kopi panas. Beberapa batang rokok. Pagi sangat cerah hari itu. Masih tertawa dan bercerita tentang beberapa memori kami bersama Ivan. Hingga tiba-tiba kami dipanggil perawat untuk segera menghadap dokter.
“Perlu saya jelaskan kondisi terakhir si Ivan. Kondisi otaknya sudah lumpuh alias nol persen. Semua sensor dan refleknya otomatis mati. Dia secara medis masih dinyatakan hidup karena fungsi jantungnya masih ada. Itu juga karena dibantu oleh alat. Saya punya dua opsi dengan hasil yang sama. Pertama adalah semua alat bantu kehidupan si Ivan dicabut dan kemungkinan bertahan Ivan hanya dalam hitungan beberapa jam saja. Opsi kedua adalah fungsi alat bantu tetap diteruskan dan Ivan akan bertahan selama beberapa hari.”
Kami semua diam tercekat. Waktu terasa berhenti membeku. Pilihan yang sama sekali bukan pilihan. Padahal baru saja dalam hitungan menit saya masuk ruang rawat Ivan. Memegang tangannya yang masih hangat. Berbisik ditelinga kirinya bahwa kamu bisa bertahan dan bisa melanjutkan semua cita-cita yang sudah disusun. Diantara balutan infus dan alat bantu kehidupan lainnya. Yang rapat mengepung posisi ranjang dimana selama dua hari ini kamu terbaring. Koma tanpa pernah sadar sama sekali. Hidup yang bergantung pada mesin penyuplai kehidupan sementara. Ingatanku bergerak cepat mundur kebelakang dengan cepat. Seperti rangkaian jetcoaster dengan muatan setumpuk kenangan. Ingatan yang terasa sangat dekat sekali. Ingatan limabelas tahun yang lalu. Dimana bahwa sedari kecil kita tumbuh dan membangun mimpi bersama.
Pribadi yang tertutup dan tidak banyak bicara. Kecuali saya mampu membuka topik bicara yang menurutmu menyenangkan untuk dibahas. Salah satunya adalah buku. Kamu adalah kutu buku. Mempunyai ketertarikan yang kuat terhadap buku terutama yang bertemakan humanisme dan sastra postmodernisme. Walau kita jarang bertemu karena kesibukan dengan band masing-masing namun sekalinya ketemu kita pasti terlibat diskusi intens tentang berbagai buku yang baru saja kita baca. Saya kagum pada daya tangkap dan analisamu terhadap persoalan yang muncul dalam diskusi kita. Terkadang kamu juga bicara masalah sudut pandang dalam proses pembuatan lirik dan interpretasinya. Walau bagi kebanyakan orang lirik yang dibuat olehmu tidaklah terlalu menyenangkan untuk dijadikan “soundtrack of life”. Lirik yang kelam, depresif dan cenderung menghujat diri sendiri.
Bahwa semua masalah yang terjadi pada dunia dan lingkungan kamu jadikan sebagai masalah personal. Masalah yang dipersempit lalu bercermin pada dirimu sendiri. Tidak mencoba menyalahkan siapapun. Dan itu satu-satunya amunisimu dalam proses pembuatan lirik-lirik di Burgerkill. Walaupun saya selalu mengingatkanmu bahwa hal itu sangat riskan dan bukan cara pelepasan emosi yang sehat. Saya pernah masuk dalam fase seperti itu dan beberapa kali saya nyaris mati. Apalagi jika harus di stimulan oleh alkohol, ganja dan obat-obat keras. Tapi itulah diri kamu. Yang bagaimanapun sudah mampu membuat orang  terinspirasi dan melakukan sesuatu terhadap hidupnya. Tergantung interpretasi mereka terhadap lirik yang kamu buat. 
Kita pernah sama-sama terdampar dijalanan. Mencoba keluar dari realitas yang dirasa makin tidak mampu mewakili segala kehendak kita. Masalah dengan sekolah, lingkungan dan keluarga. Menciptakan dunia kita sendiri. Satu hal yang membuatku selalu kagum padamu, bahwa ternyata kau sama sekali tidak mau merepotkan orang lain. Walau ternyata keputusan yang kau ambil itu ternyata bisa merepotkan semua orang juga. Lebih tepatnya membuat panik kita semua. Karena sebenarnya kami benar-benar peduli padamu. Pernah satu waktu ketika anak-anak terlibat pertikaian dengan segerombolan preman Cicadas dan ternyata justru kamu yang tidak tahu apa-apa harus jadi korban. Diculik dan disekap setelah sebelumnya sepotong batu bata mendarat telak dan remuk dikepala kamu. Dan kamu ternyata tenang saja. Walaupun sebagian muka kamu biru lebam.
Maafkan kami bukan maksud kami untuk tidak menolongmu. Kamu hanya kebetulan saja berada di tempat dan waktu yang salah. Setelah melewati aksi kontra intelejen ala preman dan lobi-lobi di tingkatan preman yang lebih tinggi akhirnya kamu berhasil dibebaskan. Sekali lagi maaf dari kami. Kami bangga bahwa ternyata kau begitu tenang dan berani. Dan kamu tidak mencoba menyalahkan siapa pun.
Bahwa dulu ketika kita remaja pernah mempunyai mimpi dan harapan yang sama dengan kawan yang lain. Impian yang selalu indah dan penuh cita-cita mulia. Cita-cita tentang membangun sebuah perusahaan rekaman indielabel. Gedung pencakar langit lengkap dengan landasan helikopter dan semua teman kita bekerja disana. Dalam ruangan teduh ber-ac dan istri kita menjadi sekretarisnya. Bahkan denah gambar hasil gambaranmu masih ada melekat di pintu kamarku. Berebut tempat bersama semua curhatmu ketika kau ditolak cinta pada masa sma dulu. Yah kau pernah ditolak cinta gara-gara secara ekonomi kamu dinilai tidak mapan. Padahal kamu butuh keberanian yang amat sangat untuk bisa menyatakan cinta pada wanita teman sma mu. Setelah dibantu oleh beberapa butir obat keras. Biar pede, begitu alasanmu. Perempuan manis berambut ikal mirip Igor Cavalera drummer Sepultura. Kau kesal lalu menulis “perangi buta huruf dan cewek matre”. Ada juga tulisanmu “kejelekan adalah kegantengan yang tertunda”. Untuk yang satu ini saya sama sekali tidak mengerti maksudnya. Tapi hingga kini saya masih selalu tersenyum ketika bangun pagi dan melihat tulisan itu. Padahal untuk ukuranku kamu cukup ganteng. Tidak, tidak ganteng tapi eksotik!...
Lalu kita mencoba berkhayal tentang siapa diantara kita yang akan menikah pertama kali. Menimang bayi yang sudah memakai kaos band metal favorit. Mengajak keluarga kita nonton konser metal bareng-bareng. Tidak pernah kita membayangkan satu diantara kita yang akan pergi meninggalkan duka. Kita lakukan itu sambil tiduran diatas genteng rumahku. Menatap langit gelap dan jutaan bintang bertebar bersinar. Kau menilai seperti itulah hidup ini. Gugusan bintang yang setiap malam mencoba bersinar terang agar dapat memberikan harapan bagi yang melihatnya. Lalu di pagi buta kita berteriak lantang sekeras-kerasnya, make a wish pada setiap bintang yang jatuh meluncur. Entah kepada siapa.
Dari cerita-cerita teman main bandmu aku dapat menangkap kesan bahwa kau memang sangat menantikan semua ini terjadi. Hari-hari terakhir hidupmu dimana kau sama sekali tidak mau mengecewakan dan merepotkan mereka. Bahwa kau sebenarnya tidak mau menghancurkan segala impian mereka. Ketika rasa sakit yang selama ini menyerang kepalamu kau biarkan saja. Kau jadikan sakitmu itu sebagai inspirasi dalam membuat lirik. Menjadi stimulan demi sebuah proses kreatif yang menghasilkan karya yang jujur. Jujur. Memang seperti itulah keadaanmu yang sebenarnya. Semua orang boleh kagum padamu ketika kau beraksi diatas panggung. Terpana oleh pancaran aura kuat seorang rockstar yang sedang berekspresi diatas panggung. Teriakan lantang menyapa penggemarmu. Bertelanjang dada dengan hiasan tato disetiap sudut tubuhmu yang ringkih. Lalu kau mulai menyanyi dengan semangat. Menjerit dan berteriak tentang semua keresahanmu. Melakukan headbanging nyaris tanpa jeda disetiap lagu yang kau nyanyikan.
Kenapa kamu rela seperti itu van ? padahal aku tahu bahwa sebenarnya kamu sedang menahan sakit yang tidak dapat tergambarkan kecuali orang lain ikut merasakannya. Rasa sakit yang selama ini kau tahan agar orang lain tidak merasa kecewa kepada kamu. Ketika kau berteriak menyapa fans mu, pada saat yang tepat juga semua saraf dipembuluh otakmu berkontraksi sehingga untuk beberapa saat otakmu terasa panas dan kesemutan. Lalu akibatnya suplai oksigen ke otak berhenti sesaat. Aku juga tahu bahwa setiap kali kau headbangin’ matamu berkunang dan berpendar oleh aneka warna. Dan itu pasti sangatlah menyakitkan sekali. Tak jarang kau kejang dan pingsan setelah selesai manggung. Rasa sakit yang selalu menghantuimu selama kurang lebih dua tahun kebelakang. Dan kamu nikmati semuanya. Kamu masih bisa tersenyum tiap kali kita berjumpa di backstage untuk sekedar menanyakan kabar dan berbagi rokok. Badan penuh keringat, sisa nafas yang tersenggal. Namun matamu kosong menatap.
Hari Kamis, tanggal 27 Juli 2006 jam 10 pagi di beranda parkir Rumah Sakit Santo Yusup keputusan yang berat terpaksa kami ambil. Setelah berkonsultasi dengan beberapa dokter mengenai segala kemungkinan dan harapan. Bersama keluarga, kerabat dan teman-teman semua akhirnya memutuskan Ivan untuk dibawa pulang ke rumahnya di Rancaekek. Melepaskan semua beban derita dan kesakitan yang selama ini menjadi teman setianya. Memberikan jalan yang lapang bagi semua depresi dan kegalauan yang selama ini menghantuinya. Tepat jam tiga sore ambulan sudah disiapkan dipintu keluar. Beberapa teman berdiri berjejer dengan raut muka yang nyaris sama. Kesedihan. Ketika kereta dorong yang membawa ragamu lewat perlahan
Dan ternyata kau hanya mampu bertahan beberapa jam saja dirumah. Beberapa menit menjelang adzan magrib berkumandang kau lepas dari ragamu. Raga yang selama ini banyak dipuja oleh banyak orang. Menjadi inspirasi dan panutan. Raga yang selama ini kau pinjam untuk mengekspresikan semua keluh kesahmu. Bersama doa-doa dan kerelaan yang tulus kami beri padamu sebagai bekal. Kebebasan yang selama ini kau idamkan akhirnya tercapai sudah. Kebebasan yang disimbolkan oleh bendera kuning yang tertancap berjajar disepanjang jalan menuju kerumahmu.. Kebebasan yang selama ini selalu jadi bahan perdebatan seru diantara kita. Diantara tangisan duka dan perasaan kehilangan yang mendalam diantara aku dan teman-temanku. Mengutip kata-kata teman saya Ucok Homicide,
“bahwa hidup tak perlu lama, tetapi ia harus dilewati sepenuh kita mampu”

Dan kau sudah membuktikannya seperti itu. Terima kasih atas darah, keringat dan air mata yang mau kamu bagi bersama. We’re proud to you…Kita akan jumpa lagi di panggung konser yang berbeda. Secepatnya bro…
Oh ya, bulan Desember tahun ini Ivan berencana untuk menikah. Ugh…
 Oleh Addy Gembel, pernah dimuat di majalah Ripple tahun 2006
 * Dua tahun yang lalu saya dan kawan yang lain pernah berdiri disini. Bersama-sama mencoba memaknai arti dari kehilangan dirimu. Dua tahun sudah berlalu. Hari ini saya sendirian terduduk diam didepan nisanmu. Panggung  terakhirmu. Saya hanya diam, mencoba meraba sisa aura yang mungkin sengaja kamu tinggalkan. Tanpa serpihan kelopak bunga aneka warna. Tanpa isak tangis dan iringan doa-doa. Lewat kesendirian saya bisa merasakan kembali  arti dari apa yang pernah kita jalani.
Nisanmu yang tampak kusam saya bersihkan. Hanya untuk sekedar melihat nama aslimu. Ivan Firmansyah. Hingga hari ini saya masih bisa melihat dan merasakan  jejakmu yang masih nampak dimana-mana. Saya tidak tahu sekarang kamu sedang apa dan ada dimana. Adakah kawan disana?...
Saya tidak tahu harus berdoa pada apa dan siapa. Setiap hari saya coba meyakinkan diri bahwa Tuhan itu ada. Hingga dengan sepenuh hati, setiap saat saya bisa memohon padaNya tempat yang paling layak untukmu. Saya hanya ingin bercerita padamu. Tentang kabar dari duniaku. Tentang betapa kami semua sangat merindukanmu.
Hufff,…Goddamn!…saya rindu kamu van…

from: addy fembel forgotten

No comments:

Post a Comment