Wednesday 27 March 2013

SBY Si Pesolek Jenderal Brutus


Rekam jejak hitam Sang Jenderal.
SEMUA tokoh tentu memiliki catatan hitam dalam perjalanan karier mereka menuju puncak. Mulai dari tokoh dunia semacam Napoleon Bonarpate, Adolf Hittler, John F Kennedy, sampai tokoh nasional seperti Soekarno, Soeharto, Wiranto, Prabowo, tak luput juga “bapak” kita yang satu ini: Susilo Bambang Yudhoyono.
Ini adalah cerita yang disadur dari arsip salah satu catatan teman, yang dia dapat dari sumber-sumber orang lingkaran kekuasaan yang tahu rekam jejak sang Jenderal dalam merintis karir. Yang jelas, tak selamanya jujur. Itulah dunia politik.
Menurut penilaian orang-orang yang kenal dan tak begitu simpati pada jenderal ini, SBY diidentikkan dengan Marcus Brutus. Brutus adalah kawan, anak buah, dan orang yang sangat dipercaya Julius Caesar, kaisar Romawi. Tapi Brutus pulalah yang menusuk sang kaisar dengan pisau dari belakang hingga mati.
Karakter Brutus akhirnya dipakai untuk menggambarkan seorang yang berkhianat terhadap orang yang menolongnya, melindunginya, bahkan mempercayainya. Karakter ini hampir selalu muncul dalam pergulatan politik.
SBY bahkan mengambil peran sebagai Brutus untuk tiga presiden; Habibie, Abdurrahman Wahid dan Megawati. Bedanya, Brutus zaman Romawi akhirnya mati bunuh diri, sedangkan SBY ini terbilang Brutus yang masih langgeng dan beruntung. Tak tahu lagi bagaimana nasibnya ketika huru-hara Demokrat berjumpa dengan ending.
Era Reformasi
DI akhir zaman Soeharto, SBY adalah Kasospol ABRI di bawah Panglima ABRI Wiranto. Tanggal 16 Mei 1998 Mabes ABRI di Jalan Merdeka Barat, Jakarta, dipenuhi wartawan karena ada siaran pers soal Wiranto yang meminta Soeharto mundur. Tapi Wiranto tak muncul-muncul.
Ketika banyak orang sedang menunggu-nunggu Wiranto, Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) ABRI, Wahab Mokodongan, tiba-tiba membagikan siaran pers yang isinya menimbulkan kontroversi: ABRI Mendukung Pernyataan PBNU. Padahal pernyataan salah satu organisasi massa terbesar di Tanah Air itu adalah minta Soeharto turun.
Mendapati ada siaran pers itu, Wiranto kaget. Kemudian baru diketahui bahwa SBY-lah yang mengkonsep siaran tersebut. Usut punya usut, ternyata dengan cara itu, SBY bermaksud mendorong dan menjebak Wiranto agar mengambil alih kekuasaan. Akibat dari manuver tersebut, Wiranto sempat kena tuding mau mengkudeta Soeharto.
Seperti ditulis di bukunya, SBY bahkan sempat bertanya pada Wiranto, “Apakah Bapak akan ambil kekuasaan?” Ambisi Jenderal satu ini memang besar.
Ketika itu target jabatan SBY adalah Pangab. Kalau Wiranto bisa jadi Presiden dengan mengambilalih kekuasaan dari Soeharto, tentu dia yang akan ditunjuk jadi Pangab, orang nomor satu di ABRI. Tapi, manuver Wiranto yang ditunggu-tunggu tak juga dilakukan. SBY bahkan menuding seniornya itu penakut.
Tapi, setelah Soeharto jatuh dengan sendirinya, akibat mahasiswa menggelar aksi turun ke jalan, SBY memanfaatkan momentum itu dan dieksploitasinya sebagai bentuk keberpihakannya pada kelompok reformis. Ke mana-mana ia mengatakan kalau dia adalah ABRI reformis dan ABRI perlu paradigma baru. Dengan tampil sebagai sosok seolah-olah berpihak pada perubahan, SBY tampil dalam elite politik pada pemerintahan pasca Soeharto.
Pada masa pemerintahan Habibie (1998-1999), SBY menjabat Kepala Staf Teritorial (Kaster) ABRI. Jabatan ini sama sekali tak memuaskannya karena tak memberinya peluang untuk leluasa bermanuver politik. Ia sangat gerah pada pemerintahan Habibie, karena pada dasarnya dia sama sekali tak percaya pada pemerintahan sipil. Berhubung ABRI masih ada di bawah Pangab Wiranto, SBY tetap harus loyal pada atasannya itu. Apapun kata Wiranto, ia patuhi.
Dalam situasi yang sama, dia juga memanfaatkan Wiranto. Dalam kasus Jajak Pendapat Agustus 1999 di Timor Timur, contohnya, SBY mendukung Wiranto yang setuju agar dilakukan jajak pendapat. Ia juga yang meyakinkan Wiranto agar Jajak Pendapat itu dilaksanakan. Sementara Presiden Habibie setuju-setuju saja dengan rencana ini, karena dia memang sedang mendambakan Nobel Perdamaian yang bisa membuatnya terpilih lagi dalam Sidang Umum MPR, Oktober 1999.
Tapi hasilnya malah jauh dari harapan: Timor Timur lepas. Ribuan nyawa tentara yang berkorban dalam aneksasi Timor Timur tahun 1975 lalu terbuang sia-sia. Tapi di saat yang sama, SBY malah dipuji Amerika karena sudah ”menjalankan misi dengan baik”. Sudah lama AS dan negara sekutunya, Australia, ingin Timor Timur pisah dari Indonesia. SBY dan Wiranto juga berhasil mendorong Habibie yang ultra-liberal agar Jajak Pendapat menghasilkan kemerdekaan Timor Timur.
Ketika Sidang Umum MPR Oktober 1999, Wiranto sempat maju jadi capres kendati ketika itu belum melepas jabatannya sebagai Pangab. SBY-lah yang mendorong Wiranto untuk maju.
Bahkan, ketika dia menyatakan mencabut pencalonannya sebagai capres, orang yang paling menonjol berdiri di belakang Wiranto adalah SBY. Gambar Wiranto-SBY kala itu bisa dilihat dalam iklan-iklan Wiranto di awal-awal masa reformasi dulu. Di situ, SBY kelihatan seperti ajudan Wiranto dengan pandangan lurus ke depan tak berkedip.
Sidang Umum MPR akhirnya dimenangkan Abdurahman Wahid yang didukung Poros Tengah. Aliansi Poros Tengah berhasil menjegal Megawati yang partainya, PDIP, menang Pemilu Juni 1999.
Menikam Gus Dur
KETIKA berkuasa, Presiden Abdurrahman Wahid mengangkat SBY jadi Menteri Pertambangan dan Energi (Mentamben) pada 26 Oktober 1999. Ini adalah deal dengan ABRI. Waktu itu dia masih jenderal aktif.
SBY berhasil mendapat simpati dan kepercayaan dari Gus Dur. Ia bahkan mendapat pekerjaan dan tugas di luar kewenangannya sebagai Mentamben. Gus Dur memperlakukannya seperti anak emas. Bahkan Gus Dur menunjuknya sebagai negosiator dengan pihak Keluarga Cendana agar mau mengembalikan kekayaan Soeharto yang diduga hasil korupsi saat menjadi Presiden.
Bolak-balik SBY datang ke rumah Siti Hardiyanti Rukmana (Tutut) untuk menyampaikan keinginan Gus Dur. Tapi, yah, rupanya tak ada upaya serius kecuali ngobrol-ngobrol ringan saja dengan beberapa anggota Keluarga Cendana.
Ketika menjabat sebagai Mentamben pun tak ada prestasi apa-apa. Ia cuma rajin melakukan kunjungan-kunjungan dan pidato-pidato normatif. Untunglah, ada Dirut Pertamina yang cukup andal ketika itu: Martiono. Jadi cacat tugas-tugas pertambangan dan energi ada yang menutupi.
Ketika Gus Dur merombak kabinetnya 26 Agustus 2000, SBY tetap dipercaya dan mendapat promosi sebagai Menteri Koordinator Politik, Sosial dan Keamanan (Menko Polsoskam). Kepercayaan ini diberikan karena SBY pernah bersumpah akan mendukung Presiden Gus Dur hingga selesai. Tapi pada kenyataannya harapan Gus Dur itu bertepuk sebelah tangan.
Pemerintahan Gus Dur terus digoyang DPR karena kasus Buloggate dan Bruneigate. DPR bahkan sudah mengeluarkan Memorandum I dan Memorandum II, sebelum diputuskan adanya Sidang Istimewa (SI). Memorandum II keluar tanggal 30 April 2001 dan berakhir satu bulan. Bayang-bayang Sidang Istimewa mengancam pemerintahan Gus Dur. Ia benar-benar di ujung tanduk.
Sebagai langkah antisipatif, Gus Dur berunding dengan SBY untuk mengantisipasi agar pemerintahannya tak jatuh. Reputasi Gus Dur ketika itu sudah sangat jelek di masyarakat dan DPR. Di tengah keterpepetannya, Gus Dur meminta SBY mendukung langkah-langkahnya menghadapi DPR. Ketika itu SBY menyatakan dukungan sepenuhnya dan ingin membuktikan bahwa sumpah setianya tak cuma ada di kata-kata.
Karena itulah, awal Mei 2001 dibentuklah Tim Tujuh (7) yang diketuai SBY. Tim ini mendapat mandat Gus Dur agar merumuskan dan mengambil segala langkah politik yang perlu untuk mengatasi ketegangan antara Presiden dan DPR secara konstruktif dan komperehensif. Gus Dur juga minta SBY membuat konsep pelimpahan tugas dan wewenang Presiden kepada orang yang ditugaskan. Demikian tinggi kepercayaan Presiden Gus Dur pada SBY saat itu.
Hasil dari Tim Tujuh yang diketuai SBY adalah perlunya Maklumat Presiden, yang intinya melimpahkan wewenang pada pejabat yang ditunjuk. Atas saran SBY, pada 28 Mei 2001, Gus Dur membuat Maklumat Presiden yang memberi perintah agar diambilnya langkah dan tindakan khusus untuk menciptakan ketertiban, keamanan dan hukum secepat-cepatnya.
Maklumat diserahkan SBY. Gus Dur berharap SBY benar-benar bisa mengatasi keadaan sehingga situasi menjadi tenang.
Namun, apa yang terjadi? SBY malah sama sekali tak berbuat apa-apa. Ia tak melobi DPR, Wapres Megawati atau tokoh-tokoh politik kunci yang beroposisi terhadap Gus Dur. Sebaliknya, dia malah menaikkan posisi tawarnya dalam pentas politik nasional. Ia menempatkan diri seolah-olah pihak yang bijak, yang tak mau menggunakan kekuasaan sewenang-wenang.
Brutus
Keinginan-keinginan Gus Dur ditepisnya. Inilah pengkhianatan paling telanjang dalam politik Indonesia mutakhir: Gus Dur ditikam dari belakang. Lagi-lagi peristiwa ini mengingatkan kita pada Marcus Brutus yang menikam Julius Caesar.
Gus Dur sungguh kecewa. Harapannya pada SBY tak kesampaian.
Di saat cucu Hasyim Asy’ari itu di ujung tanduk, SBY malah mengabaikan perintahnya. Sumpah setianya seolah tak pernah ada. Malah, tak disangka, orang yang begitu dipercayanya justru menikamnya dari belakang.
SBY yang menganjurkan Maklumat, SBY juga yang mementahkannya.
Gus Dur tak tahu kalau SBY bukan semata-mata mengambil langkah itu karena rasional politik, tapi juga karena kawan-kawannya di pemerintahan Bush (AS) sudah pesan agar Gus Dur diganti. Pengamat politik Amerika, Jeffrey Winters, saat itu mengatakan Washington sudah memutuskan bahwa Gus Dur harus pergi.
Indikatornya Amerika sudah tak suka lagi pada Gusdur adalah; IMF tidak mengucurkan bantuan dana USD 400 juta. SBY juga beberapa kali melakukan kontak dengan Wakil Menteri Pertahanan AS, Paul Wolfowitz.
Dua hari sesudah Maklumat Presiden dikeluarkan, 30 Mei 2001, DPR sepakat menggelar sidang istimewa untuk Gus Dur. Karena sakit hati dikhianati, pada 31 Mei 2001 Gus Dur mengganti SBY dengan Agum Gumelar.
Berbeda dengan SBY, Agum jauh lebih loyal. Meski tak setuju dengan berbagai langkah Gus Dur, Agum tetap menunjukkan sikap ksatria sebagai orang yang bertahan dengan kawannya. Sementara SBY seringkali memperlihatkan sikap “colong playu”
Menelikung  Megawati
Ditendang oleh Gus Dur, Ambisi SBY malah berkobar. Meski baru menusuk Gus Dur dari belakang, ia berani tampil maju sebagai kandidat Wakil Presiden pada Sidang Istimewa MPR-RI, 25 Juli 2001, bersaing dengan Hamzah Haz dan Akbar Tanjung. Semua tahu, pada akhirnya Hamzah Haz lah yang jadi juara.
Presiden Megawati yang menggantikan Gus Dur bermurah hati menampung SBY yang keleleran, tanpa jabatan dan pekerjaan. SBY melalui orang-orang dekatnya memang melobi Mega agar memakainya menjadi menteri.
Mulanya Mega ragu, karena rekam jejak tingkah laku SBY yang tak pernah setia dan cenderung berkarakter seperti Brutus. Tapi dengan tampang melasnya, SBY meminta-minta dan berjanji akan bekerja sebaik-baiknya. Naluri keibuan Mega tak tega menolaknya.
Tanggal 10 Agustus 2001, SBY diangkat menjadi Menko Polkam Kabinet Gotong Royong. Dari sinilah ia habis-habisan membangun citra sebagai orang yang mengendalikan Megawati. Karena Megawati hemat bicara, SBY menempatkan diri semacam juru bicara pemerintah.
Apa prestasi SBY dalam Kabinet Mega? Lagi-lagi tak ada yang istimewa. Tugas-tugas penanganan konflik Ambon dan Poso justru lebih banyak dilakukan Menko Kesra Yusuf Kalla.
Di Jakarta, kalangan politisi menyindir SBY salah tempat. Harusnya dia yang jadi Menko Kesra atau Menteri Sosial. Menurut penilaian para politisi ketika itu, SBY sangat takut menangani konflik Ambon yang penuh darah. Ia ngeri untuk datang ke Ambon dan minta Kalla mewakilinya. Lahirnya Malino I dan Malino II jelas bukan prakarsa SBY.
Para wartawan bahkan tahu bagaimana SBY hanya ingin tampil ketika penandatangan perjanjian damai Malino I dan II dilakukan. SBY di ruang rias hampir satu jam untuk menata wajah dan rambutnya agar kelihatan keren ketika dipotret atau disorot kamera. Para hadirin dipaksa lama menunggu SBY merias diri sebelum penandatanganan itu.
Dalam konflik Aceh, SBY adalah orang yang mengumumkan status darurat militer di Provinsi itu pada 19 Mei 2003. Tapi dia hanya satu-dua kali berkunjung ke Aceh melihat pelaksanaannya.
Sebagai Menko Polkam, SBY piawai menggunakan kesempatan dan fasilitasnya untuk menggalang dukungan. Kantor Menko Polkam dijadikan alat untuk membina basis massa dan kendaraan politik yang akan dipakainya. Ia membentuk tim angket Kementrian Polkam serta tim monitoring evaluasi dan pengamanan pemilu di 24 provinsi dan 24 kabupaten/kota. Langkah ini untuk mengukur sejauh mana aspirasi dan kehendak masyarakat dalam pemilu legislatif 5 April 2004 dan pilpres 5 Juli 2004.
Ia juga menggunakan iklan ajakan damai di televisi untuk memperbesar popularitas. Semua itu dibiayai Kementerian Polkam.
Inilah langkah sistematis SBY untuk menikam Mega dari belakang. SBY kembali membuktikan dirinya sebagai Brutus, kali ini terhadap Presiden Megawati.
September-Oktober 2003, foto-foto SBY beredar dalam bentuk poster, stiker dan spanduk Partai Demokrat. Tanggal 9 Februari 2004, di majalah Tempo, terang-terangan SBY menyatakan siap jadi presiden. Ia juga mengaku punya pertalian dengan Partai Demokrat.
Tanggal 10 Februari 2004, SBY membuat lagi pernyataan lanjutan kalau dia siap mundur dari kabinet jika resmi ditetapkan sebagai calon presiden. Langkah dan manuver SBY itu jelas mengganggu kinerja Kabinet Mega.
Para pentolan PDIP menilai SBY tengah melakukan plot politik. Harusnya SBY tidak plin plan. Jika mau maju jadi presiden, kenapa tak langsung mundur saja dari kabinet atau tetap menjalankan tugas Menko Polkam seperti amanat yang diberikan padanya?
Taufik Kemas, suami Presiden Megawati yang juga fungsionaris PDIP menjadi berang. Ia tak sabar dengan manuver SBY. Tanggal 2 Maret 2004, ia menyebut SBY seperti “anak kecil.”
“Masak, jenderal bintang empat kayak anak kecil begitu,” kata Taufik di Jakarta. Pernyataan TK (begitu panggilan akrab Taufik) adalah hasil provokasi yang dijalankan “tim sukses” SBY yaitu Sudi Silalahi, sekretaris Menko Polkam.
Sebelumnya, 1 Maret 2004, Sudi bicara di depan wartawan bahwa SBY dikucilkan Presiden Megawati. SBY, kata Sudi, tak dilibatkan dalam berbagai rapat penting Kabinet Mega. Kontan saja, suhu politik agak meningkat. Provokasi Sudi berhasil memancing amarah orang-orang PDIP.
Drama politik SBY menjadi perhatian publik. Ia menciptakan kesan sebagai orang yang teraniaya, tertindas dan terkucil oleh kekuasaan Presiden Mega. Fenomena ini sungguh ironis.
Kenyataannya, justru Megawati adalah orang yang ditikam dari belakang oleh SBY. Megawati yang melindungi, mempercayai, dan memberi kewenangan yang besar pada SBY, justru dikorbankan untuk mendongkrak popularitas SBY dan Partai Demokrat. Jangankan terima kasih, langkah Brutus SBY ini bahkan dijadikan bahan kampanye Partai Demokrat di berbagai daerah.
Ternyata apa yang dilakukan SBY sebagai Menko Polkam bukan untuk kemaslahatan rakyat atau kebaikan bangsa, melainkan hanya semata-mata batu loncatan bagi ambisi pribadinya jadi Presiden. Pola Brutus SBY memang bukan baru. Seperti diceritakan sebelumnya, SBY telah berbakat jadi Brutus (pengkhianat/penusuk dari belakang/penggunting dalam lipatan/penyalib di tikungan) sejak zaman Soeharto.
Langkahnya yang culas dan licik sebagai Brutus lebih mantap di zaman Habibie dan Gus Dur serta puncaknya pada 11 Maret 2004 ketika ia mundur dari Kabinet Megawati. Megawati yang membutuhkan bantuan Menko Polkam dalam penanganan politik nasional dan keamanan Pemilu ditinggalkan begitu saja, tanpa pertanggungjawaban.
Gemar Rapat di Tengah Konflik
Tahun 2001, di masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid, stabilitas politik dan keamanan betul-betul goyah. Di Jakarta, atau kota besar lainnya, ancaman perampokan, pembunuhan, atau pencurian, merajalela. Lampu merah (lampu lalu lintas) adalah daerah bahaya satu, karena di situ beroperasi kelompok “Kapak Merah”.
Ketika lampu merah menyala, tiba-tiba saja serombongan anak muda bersenjata kapak, pisau, atau golok -terkadang bersenjata api-menyatroni mobil yang sedang berhenti, memecahkan kacanya, lalu merampok penumpangnya, dan pergi seenaknya saja meninggalkan korban, yang tak jarang sudah dianiaya dulu.
Polisi seakan tak berdaya. Situasi itu menyebabkan rakyat terpancing main hakim sendiri. Maling motor yang tertangkap dibakar hidup-hidup. Adegan mengerikan itu adalah pemandangan sehari-hari, di mana-mana.
Itu belum seberapa. Berbagai daerah juga bergolak. Aceh, misalnya, seakan sudah terpisah dari Republik. Bayangkan, Presiden Abdurrahman Wahid datang ke Banda Aceh, ketika itu, hanya berani sampai Masjid Raya. Bicara sebentar, langsung balik ke bandar udara, terbang pulang ke Jakarta.
Di Ambon, Maluku, “perang” Islam-Kristen mencapai puncaknya. Tak terhitung nyawa yang melayang, bangunan yang terbakar, atau perkantoran yang dimusnahkan. Peristiwa serupa terjadi di Poso, Sulawesi Tengah. Di berbagai daerah di Kalimantan, orang Dayak “perang” melawan suku pendatang, Madura. Korban tak lagi terhitung.
Ketika itu yang jadi Menko Polkam adalah Jenderal (Purn.) Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), yang berambisi jadi Presiden RI. Sebagai penanggungjawab stabilitas politik dan keamanan di kabinet, apa yang SBY lakukan? “Ooh dia rapat terus, diskusi terus, sampai berbulan-bulan,” kata seorang Menteri yang ketika itu masuk jajaran Polkam.
Dan hasil rapat-rapat melelahkan yang dipimpin SBY itu, dibentuklah Desk Aceh, Desk Ambon, Desk Poso, Desk Sampit, dan entah Desk apa lagi. Apa kerja Desk itu? Jangan tanya, karena mereka rapat terus, diskusi terus, seminar terus. “Saya lihat orang-orang yang bunuh-bunuhan di Ambon, Poso, atau Sampit, sudah mulai capek. Mereka juga sudah capek membakar rumah, saking banyaknya rumah yang dibakar. Tapi rapat belum menghasilkan keputusan apa pun,” kata Menteri tadi.
Suatu hari rapat berlangsung lagi dipimpin SBY. Seperti biasa, diskusi berlangsung seru antara peserta rapat dan SBY moderatornya, persis seperti diskusi atau seminar yang biasa dilakukan di hotel-hotel.
Tiba-tiba, SBY memerintahkan Mayjen Aqlani Maja, Staf Ahli Menhankam, yang bertugas mewakili Menhankam Mahfud MD, untuk memberikan pendapat. Konon, Aqlani langsung bicara, “Pak Menteri, saya kira sudah lebih 3 bulan kita rapat terus. Semua kita diskusikan. Orang yang bunuh-bunuhan di Poso, Ambon, atau Kalimantan, tampaknya sudah capek, mereka sudah berhenti sendiri.Tapi rapat belum mengambil keputusan apa pun. Kalau Pak Menteri minta pendapat saya, apa saja yang Pak Menteri putuskan saya setuju. Yang penting, kita harus punya keputusan. Saya kira itu yang penting.”
Wajah SBY langsung merah-padam. Mungkin malu sekaligus marah karena merasa dihina. “Ini bukan rapat kedai kopi, yang hadir di sini para Menteri,” teriak SBY. Semua terdiam. Tapi beberapa Menteri, di antaranya, Menteri Otonomi, Prof. Ryaas Rasyid, secara sembunyi-sembunyi menunjukkan jempol jari tangannya kepada Aqlani, sebagai tanda mendukung. Rapat pun bubar, sekali lagi: tanpa keputusan apa pun.
Menurut sebuah sumber, Aqlani berani bicara seperti itu, selain karena kesal mengikuti rapat yang melelahkan tanpa keputusan itu, ia memang sudah lama kenal watak SBY. Ia dan SBY sama-sama ikut pendidikan militer di Port Leavenworth, Amerika. Di sana pula mereka mengikuti pendidikan S2, dan sama pula lulusnya. Sebelumnya, mereka pernah pula jadi dosen di Seskoad, Bandung, ketika Komandan Seskoad dijabat Feisal Tanjung. Jadi ia tahu betul kalau SBY itu adalah tipe orang yang tak bisa membuat keputusan (indecisive), apalagi keputusan itu berisiko.
Karena cacat personalitinya itulah, semasa menjadi Menko Polkam nyaris tak satu pun keputusan penting -apalagi yang berisiko tinggi datang dari kantor Menko Polkam. Kantor Menko Polkam, di kalangan para Menteri, sering diejek sebagai kantor “Seminar”. Seperti diketahui, masalah Poso dan Ambonakhirnya ditangani Jusuf Kalla, yang ketika itu menjabat Menko Kesra yang kemudian muncul Perjanjian Malino I dan II.
Kalau saja SBY punya rasa malu, seharusnya ia mengundurkan diri dari kabinet saat Malino I dan II ditandatangani dan mendapat restu dari Presiden. Memang gara-gara Malino itu SBY marah besar kepada Jusuf Kalla, yang telah mengambil alih wewenang dan tanggung jawabnya, tapi untuk mundur dari kabinet, tentu saja orang seperti SBY tak akan mau.
Ada lagi kisah dramatis sekaligus memalukan. Sewaktu Aceh diputuskan menjadi daerah darurat militer, SBY menjadi pelaksana hariannya, dan pimpinan tertinggi adalah Presiden Megawati. Sejumlah pasukan yang dikirim dengan kapal sampai setengah bulan terkatung-katung di tengah laut, karena SBY tak juga memutuskan sikap pemerintah untuk pendaratan pasukan itu. Malah ada yang bilang, pasukan itu sempat tiga hari kelaparan karena persediaan makanan sudah habis.
Akhirnya di tengah moral pasukan yang sudah hancur seperti itu, barulah mereka didaratkan. Itupun setelah Presiden Megawati turun tangan. SBY? Seperti biasa, tak bisa membuat keputusan berisiko seperti itu. Hobinya cuma berbusa-busa bicara di TV dan koran, dengan bahasa yang selalu normatif karena takut berisiko kalau ucapannya salah-tapi disusun sesuai kaedah berbahasa Indonesia yang baik dan benar. Tanyakanlah pada kawan dan lawannya, tentang cacat SBY itu.
Jawabannya pasti tak jauh berbeda: SBY tak bisa mengambil keputusan. Mana mungkin seorang bisa jadi pemimpin apalagi menjadi Presiden, pengambil keputusan tertinggi yang sering penuh risiko dengan cacat personaliti yang sangat fatal seperti itu? Itu sebabnya, beberapa waktu lalu SBY dikenal sebagai si peragu yang kini kembali “dipercaya” rakyat, yang entah bodoh atau silau melihat penampilan sang jenderal yang selalu tampil klimis bicara normatif juga mementingkan popularitas itu. (*)

sumber : http://tofikpr.wordpress.com/2013/02/12/si-pesolek-jenderal-brutus/

Saturday 23 March 2013

Sejarah Klub Gresik United


BERAWAL DARI ‘PETROKIMIA PUTRA GRESIK’

Petrokimia Putra Gresik didirikan pada Jumat 20 Mei 1988 oleh pihak manajemen PT Petrokimia Gresik. Sejak berdiri hingga sekarang, klub yang didanai pabrik pupuk PT Petrokimia Gresik tersebut telah lebih dari 15 tahun berkiprah di Divisi Utama Liga Indonesia.
Banyak klub besar di Indonesiayang pernah satu kelas dengan Petro Putra kini tinggal nama alias almarhum. Misalnya, Bandung Raya Bandung, Niac Mitra Surabaya, Warna Agung Jakarta, Assyabaab Surabaya, Perkesa, BPD Jateng, dan lain-lain.
Setidaknya ada beberapa hal penting yang bisa dicatat dalam perjalanan Petro Putra di dunia persepakbolaan nasional. Kiprah perdana klub ini mengikuti kompetisi pada era Galatama 1988-1989. Ketika itu, kompetisi sepakbola secara nasional ada dua kutub besar. Yakni, Galatama yang diikuti klub-klub semiprofesional dan perserikatan yang diikuti klub yang didanai dan dikelola pemda.
Ketika kali pertama masuk Galatama, sebenarnya di Gresik ada klub perserikatan yang bertengger di Divisi Utama Perserikatan, yakni Persegres. Bahkan, sebagian pemain Petro Putra angkatan pertama adalah alumni Persegres. Ketika itu, antusiasme warga Gresik lebih condong ke Persegres daripada ke Petro Putra. Beberapa pemain angkatan pertama Petro Putra yang alumni Persegres, antara lain Sasono Handito (kiper), Ferril Raymond Hattu, Rubianto, Reno Latupeirissa, Karyanto, Abdul Muis, Masrukan, Lutfi, Hasan Maghrobi, Derry Krisyanto, dan lain-lain. Mereka di bawah pelatih Bertje Matulapelwa dengan asisten pelatih Hendrik Montolalu dan Slamet Haryono. Hendrik merupakan mantan kiper Niac Mitra Surabaya.
Saat Liga Indonesia pertama digelar pada 1994/1995, Petrokimia Putra oleh banyak kalangan diberi gelar “juara tanpa mahkota”. Sebab, di partai final Liga Indonesia di Stadion Bung Karno Jakarta, Petro yang saat itu di bawah besutan pelatih Andi Muhammad Teguh dengan asisten pelatih Ferril Raymond Hattu dan Bambang Purwanto kalah dari Persib Bandung dengan skor 0-1. Padahal, dalam pertandingan tersebut, Petro memasukkan gol lebih dulu melalui kaki Jacksen F Tiago. Namun, dianulir wasit tanpa alasan jelas.
(Persib Bandung juara setelah mengalahkan Petrokimia Putra dengan skor 1-0)
Kiprah Petro Putra saat itu memang luar biasa. Petro ketika itu mendatangkan tiga pemain asing, yakni Derryl Sinnerine asal Trinidadand Tobaggo. Posisinya sebagai kiper. Lalu Carlos de Mello di posisi playmaker dan Jacksen F Tiago sebagai striker. Selain Jacksen dan Carlos, tim Petro melahirkan banyak bintang baru, seperti Widodo C Putra, Eri Irianto, dan Suwandi HS. Ketiganya kemudian jadi langganan masuk pelatnas PSSI.
(Carlos de Mello, Jacksen F Tiago, Widodo C Putra, Eri Irianto)
Melalui perjalanan panjang, Petro berhasil menjadi jawara Liga Indonesia 2002. Prestasi tersebut mendobrak hegemoni klub klub kotabesar di deretan utama persepakbolaan nasional. Biasanya jawara liga direbut tim-tim dari kota-kota besar dan secara tradisional memiliki kiprah dan prestasi sepakbola yang melegenda. Misalnya, Persebaya Surabaya, Persib Bandung, PSISSemarang, Persija Jakarta, maupun PSM Makassar.
Berbeda dengan Liga Indonesia1994/1995 yang menghasilkan kekecewaan mendalam bagi Petro, pada Liga Indonesia 2002 Petro dinaungi oleh dewi fortuna. Setelah di penyisihan menjadi kampiun Wilayah Timur, Skuad yang ditukangi Sergei Dubrovin ini sempat berada di ujung tanduk dalam babak delapan besar Grup K yang digelar di kandang sendiri. Menang 3-0 dari
Arema pada pertandingan pembuka, Petro ditaklukkan oleh Persipura 0-1. Dalam laga penentuan Petro kembali takluk dari Persita 0-1, sehingga mereka tinggal berharap Persipura dapat dikalahkan oleh Arema dengan skor tipis. Harapan mereka terkabul, gol Khusnul Yuli ke gawang Persipura membawa Petro ke semifinal.
(Sergei Dubrovin)
Pada babak Semifinal, Jawara Wilayah Barat dan Juara Grup K, Semen Padang sudah menunggu. Grafik Semen Padang yang tak terkalahkan di babak delapan besar berhasil dihentikan Petro melalui adu keberuntungan tendangan penalti, tiga pemain Semen Padang gagal menyarangkan bola. Di Final, tim yang juga tak terkalahkan sejak babak delapan besar, Persita Tangerang menghadang. Lagi-lagi keberuntungan berpihak pada Petro. Gol Ilham Jayakesuma di menit pertama berhasil dibalaslimabelas menit sebelum babak kedua usai. Puncaknya, pada menit ketigaperpanjangan waktu Yao Eloi berhasil memastikan gelar juara jatuh kepada Petro.
Sayangnya gelar juara Liga Indonesia 2002 tersebut menjadi titik balik dari perjalanan panjang Petrokimia Putra. Setahun kemudian, Petrokimia harus mengakhiri kompetisi dengan lesu setelah terdegradasi ke Divisi I. Petro mengikuti jejak PSIS yang juara untuk kemudian terdegradasi pada musim selanjutnya. Bedanya usaha Petro untuk bangkit menemui kegagalan.
Pada awalnya penampilan Petro sempat meyakinkan dengan menjadi juara setengah putaran kompetisi. Tapi Petro kemudian terpelanting ke peringkatlimadan gagal lolos ke babak 6 besar. Di akhir musim, ada angin segar dari perubahan jumlah peserta Liga yang membuat Petro mendapat promosi gratis. Sayangnya hal tersebut semu belaka, Petro menghuni dasar klasemen dan kembali terdegradasi ke Divisi I. Belakangan, isu pembubaran dan penggabungan Petro dengan Persegres justru lebih mengemuka dibanding upaya untuk kembali mengangkat Petro kembali ke Divisi Utama.

Pelatih, pemain dan pengirus Tim Petrokimia Gresik

Direktur Utama : Arifin Tasrif
Direktur SDM : Bambang Setyobroto
Direktur Keuangan : T. Nugroho Purwanto
Penasehat : Imam Supardi
Ketua Harian : Bambang Lesmoko
Manager : Sasono Handito
Asisten Manager : Ferryl Raymond Hattu

Prestasi yang diraih Tim Petrokimia Gresik

Liga Indonesia 1994/1995 : Runer Up Divisi Utama (Juara Wilayah Timur)
Liga Indonesia 1995/1996 : Peringkat 8 Wilayah Timur Divisi Utama
Liga Indonesia 1996/1997 : Peringkat 6 Wilayah Timur Divisi Utama
Liga Indonesia 1997/1998 : Peringkat 9 Wilayah Timur Divisi Utama (Liga dihentikan)
Liga Indonesia 1998/1999 : Sepuluh Besar Divisi Utama (Peringkat 2 Grup B)
Liga Indonesia 1999/2000 : Peringkat 10 Wilayah Timur Divisi Utama
Liga Indonesia 2001 : Peringkat 6 Wilayah Timur Divisi Utama
Liga Indonesia 2002 : Juara Divisi Utama (Juara Wilayah Timur)
Liga Indonesia 2003 : Peringkat 18 Divisi Utama (Degradasi)
Liga Indonesia 2004 : Peringkat 5 Wilayah Barat Divisi I
Liga Indonesia 2005 : Peringkat 14 Wilayah Timur Divisi Utama (Degradasi)Prestasi Lainnya:
1. Masuk 16 besar/putaran 3 Piala Winners Asia tahun 1995/1996
2. AFC Champion League tahun 2002/2003 sampai dengan putaran kedua.
ERA BARU PERSEGRES/GRESIK UNITED
Pada November 2005 lalu persepak bolaan gresik nyaris hilang dengan adanya ultimatum dari pihak Petro sebagai pengelola PS. Petrokimia Putra di karenakan alasan dana, dengan segala cara Ultras mengambil cara dan jalan agar sepak bola di kota Gresik tidak sampai hilang begitu saja. Demo penyampaian aspirasi ke Kantor DPR dan juga ke Kantor Utama Graha Petro Kimia. Dengan membuahkan hasil adanya Komitmen dari Pihak Pemkab Gresik dan juga PT. Petrokimia yang di jembatani melalui Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Gresik, maka lahirlah Gresik United sebagai ganti hilang nya Petro Putra dan Persegres yang pernah mengharumkan nama Kota Gresik sebagai jawara Ligina.
Klub yang dikenal dengan julukan “Laskar Giri” ini didirikan pada 2 Desember 2005, yang merupakan penggabungan dari bekas tim divisi utama Petrokimia Gresik, dengan tim divisi II Persegres Gresik.
(Gaston Castano, bintang yang dimiliki GU saat ini)
Seiring dengan penggabungan itu, pengelolaan tim ini pun berubah dari sebelumnya dipegang oleh perusahaan Petrokimia saat masih bernama Petrokimia Putra Gresik, menjadi tim “plat merah” dengan sokongan dana APBD Kota Kediri, mengikuti pengelolaanPersegres.
(James K Lomel, bintang GU di lini depan bersama Gaston Castano)
Klub yang dikenal dengan julukan “Laskar Giri” ini didirikan pada 2 Desember 2005, yang merupakan penggabungan dari bekas tim divisi utama Petrokimia Gresik, dengan tim divisi II Persegres Gresik. Seiring dengan penggabungan itu, pengelolaan tim ini pun berubah dari sebelumnya dipegang oleh perusahaan Petrokimia saat masih bernama Petrokimia Putra Gresik, menjadi tim “plat merah” dengan sokongan dana APBD Kota Kediri, mengikuti pengelolaan Persegres.
(Uston Nawawi [tengah] bintang gaek yang masih membela GU)
Sebagai tim baru, prestasi tim gabungan yang sepenuhnya menjadi milik Pemkot Gresik ini belum terlihat. Maklum, karena pendanaan yang dimiliki tim ini pun cukup terbatas, sehingga prestasi yang ditorehkan terkesan jalan ditempat.
Semakin parah karena dana APBD yang diperoleh untuk menopang kelangsungan tim tidak sesuai harapan, menyusul adanya larangan pemerintah pusat menggunakan dana rakyat ini untuk sepakbola secara terus menerus.
Basis Pendukung ULTRASMANIA GRESIK
Dengan 13 personel untuk mendukung sebuah tim besar pada masanya komunitas yang benama Ultras berangkat ke Solo guna mendukung tim kebanggaan Kota Gresik ,remaja asli Gresik “LUKI” seorang mahasiswa Malang pada waktu itu memberikan nama pada rombongan itu dengan nama ULTRAS yang bermakna Ulah Trampil dan Rasional, Ultras dibentuk untuk membuat jati diri sebuah supporter yang mampu memberikan dukungan positif dan rasional terhadap tim kebanggaannya.
Salam satu jiwa !
ULTRAS MANIA !
kita acungkan jari telunjuk..
kita acungkan jari kelingking..
dan teriakkan ULTRASMANIA
dan teriakkan ULTRASMANIA!
Pada tanggal 5 November 1999 ditetapkan sebagai hari lahir Ultras Gresik yang di ambil dari negara Italia yang bermakna Supporter militan ini diawali dengan pawai besar besaran di dalam kota dan memberikan dukungan pertama ke Jember pada laga Piala Gubenur I dan dan sempat memberikan nilai positif dalam berkreasi di senayan BungKarno Jakarta sehingga mengantarkan Gresik terharum namanya dengan menjadi Juara liga indonesia yakni PS. Petrokimia Putra.
(Stadion Tri Dharma, Gresik, kandang dari Gresik United)
Besarnya komunitas supporter menjadikan rasa kedewasaan yang menuntut pembenahan dlm kepengurusan maka diadakan nya Kongres I sehingga pada piala Gubenur yang ke Ultras di nobatkan sebagai supporter terbaik se jawa timur dan sempat menjadi supporter kreatif seindonesia fersi SIWO -PWI. Sampai terdegradasinya PS. Petrokimia Putra tidak membuat surut semangat Ultras untuk menghidupkan persepakbolaan di Kota Gresik tercinta ini.
–00–

GRESIK UNITED FOOTBALL CLUB 2005 / 2 DESEMBER 2005

3 DF Lan Bastian
7 MF David Faristian
10 MF Ngon Mamoun
11 MF Agus Indra Kurniawan
12 GK Tri Windu Anggono
... 14 FW Riski Novriansyah
15 MF Khabib Syukron
17 FW Aldo Barreto
18 MF Shohei Matsunaga
19 DF Wismoyo Widhistio
21 MF Amirul Syafa'at
22 FW Sultan Samma
23 DF Erol Iba
24 FW Mulham Arufin
26 FW Doni Lattu Faisal
27 DF Kacung Khairul Munip
29 DF Ambrizal
31 DF Diogo Santos Rangel (on loan from Sriwijaya)
55 DF Saša Zečević
77 GK Hery Prasetyo
83 MF Ahmad Sembiring Usman
86 GK Sandy Firmansyah
88 MF Siswanto
Lihat Selengkapnya



http://agusbudiawan.wordpress.com/2011/09/27/september/

Thursday 14 March 2013

Arema Indonesia – Gresik United. Aremania going crazy with flares


Being an Arema supporter can be really confusing, since there’s two separate teams playing i separate leagues. But that doesn’t stop them from giving a good show. Here they are in their recent home game against Gresik united, and the amount of flares is just amazing. I could do without the horns, but i guess that’s just part of the indonesian football culture.




We love learning about supporter culture in lesser known parts of the world. Do you know of a team or country we should check out? Please leave a comment below.

http://www.flaresandchants.com/arema-indonesia-gresik-united-aremania-going-crazy-with-flares/

SEJARAH PERSETERUAN SUPPORTER INDONESIA

Berdirinya Armada 86 hingga berevolusi menjadi PS Arema pada tahun 1987 membuat konflik semakin memanas. Dalam kompetisi Perserikatan, Persema dan Persebaya sudah memanaskan suhu konflik antar-suporter di Jawa Timur. Dengan hadirnya Arema yang mengikuti kompetisi Galatama, suhu itu kian memanas dengan rivalitas Arema dan Niac Mitra Surabaya. Semifinal Galatama tahun 1992 yang mempertandingka�n PS Arema Malang melawan PS Semen Padang di stadion Tambaksari Surabaya menghadirkan awalan baru sejarah konflik Aremania-Bonek.� Arek Malang (saat itu belum bernama Aremania) membuat ulah di Stasiun Gubeng pasca kekalahan Arema Malang dari Semen Padang. Kapolda Jatim saat itu akhirnya mengangkut mereka dalam 6 gerbong kereta api untuk menghindari kerusuhan dengan Bonek.

Kejadian di Stasiun Gubeng itu membuat panas Bonek yang ada di Surabaya. Tindakan balasan mereka lakukan dengan mencegat dan menyerang rombongan Aremania pada akhir tahun 1993 saat akan melawat ke Gresik. Peristiwa ini dibalas oleh Aremania pada tahun 1996 dengan melakukan lawatan ke Stadion Tambaksari dengan pengawalan ketat DANDIM. Keberanian Aremania untuk hadir di Stadion Tambaksari kala pertandingan Persebaya melawan Arema saat itu telah membuat Bonek tidak bisa berbuat apa-apa dan harus menahan amarah mereka dengan cara menghina Aremania lewat kata-kata saja. Hal ini karena pertandingan tersebut disaksikan oleh para petinggi PSSI dan gubernur Jawa Timur saat itu, serta pengawalan ketat DANDIM kota Malang terhadap Aremania. Bagi Aremania, hal ini sudah sangat mempermalukan Bonek dengan datang langsung ke jantung pertahanan lawan sembari menunjukkan kesantunan Aremania dalam mendukung tim kesayangan. Semenjak itulah tidak ada kata damai dari Bonek kepada Aremania, dan Aremania sendiri juga menyatakan siap untuk melayani Bonek dengan kekerasan sekalipun.

Kejadian ini dibalas oleh Bonek di Jakarta pada tahun 1998. Tanggal 2 Mei 1998 dimana Aremania akan hadir dalam pertandingan Persikab Bandung vs Arema Malang, Aremania yang baru turun dari kereta di Stasiun Jakarta Pasarsenen diserang oleh puluhan Bonek. Ketika itu rombongan Aremania yang berjumlah puluhan orang menaiki bus AC yang sudah disiapkan oleh Korwil Aremania Batavia. Di tengah jalan, belum jauh dari Stasiun Pasarsenen tiba-tiba bus yang ditumpangi Aremania dihujani batuan oleh Bonek. Untuk menghindari jatuhnya korban, rombongan Aremania langsung turun dari bus untuk melawan Bonek yang menyerang mereka. Bahkan Aremania sampai mengejar-ngejar� Bonek yang ada di Stasiun Pasarsenen. Tindakan Aremania ini mendapat applaus dari warga setempat, sehingga Bonek harus mundur meninggalkan area Stasiun Pasarsenen.

Kondisi rivalitas yang begitu panas antara Aremania dan Bonek membuat keduanya menandatangi nota kesepakatan bahwa masing-masing kelompok suporter tidak akan hadir ke kandang lawan dalam laga yang mempertemukan Arema dan Persebaya. Nota kesepakatan yang ditandatangani oleh Kapolda Jatim bersama kedua pemimpinkelompo�k suporter tersebut ditandatangani di Kantor Kepolisian Daerah Jawa Timur pada tahun 1999. Semenjak tahun 1999, maka kedua elemen suporter ini tidak pernah saling tandang dalam pertandingan yang mempertemukan kedua klub kesayangan masing-masing.

Tetapi nota kesepakatan itu tidak mampu meredam konflik keduanya. Tragedi Sidoarjo yang terjadi pada bulan Mei 2001 menunjukkan masih adanya permusuhan kedua elemen ini. Kala itu pertandingan antara tuan rumah Gelora Putra Delta (GPD) Sidoarjo melawan Arema Malang di Stadion Delta Sidoarjo dalam lanjutan Liga Indonesia VII. Karena dekatnya jarak Surabaya-Sidoar�jo membuat sejumlah Bonek hadir dalam pertandingan tersebut. Menjelang pertandingan dimulai, batu-batu berterbangan dari luar stadion menyerang tribun yang diduduki oleh Aremania. Kondisi ini membuat Arema meminta kepada panpel untuk mengamankan wilayah luar stadion. Karena lemparan batu belum berhenti membuat Aremania turun ke lapangan, sementara di luar stadion justru terjadi gesekan antara Bonek dengan aparat. Turunnya Aremania ke lapangan pertandingan membuat pertandingan dibatalkan. Terdesaknya aparat keamanan yang kewalahan menghadapi Bonek membuat Aremania membantu aparat dengan memberikan lemparan balasan ke arah Bonek. Aremania pun harus dievakuasi keluar stadion dengan truk-truk dari kepolisian.

Setelah pertandingan Persebaya Vs Arema. Sempat mikir2 tentang sejarah rivalitas ke dua klub tersebut. Meski ada kesalahan mengenai pemain persebaya yg mengalami kebutaan. Pemain tersebut bernama Nurkiman.Diketa�pel waktu bis Persebaya menuju Malang, ketika Persebaya akan menghadapi Persema pada laga Divisi Utama Perserikatan pada tahun 90-an.Arema saat itu bermain di galatama. Mmg secara waktu “biologis�? Arema adalah adik Persema. Sementara Persebaya dibentuk th 1930, waktu jaman penjajahan Belanda.Dan termasuk salah satu pendiri PSSI (bersama Persija, Persib, Persis, PSIM dan PSM –bukan Persatuan Sepak Bola Makasar, tp Madiun).

Jangan salahkan bonek!!!

Sekali lagi kalau mau jujur, suporter mana sih di
Indonesia ini yang enggak mengamuk saat timnya kalah.
Jika mas anshor mengamati perkembangan supoter di
Indonesia, mungkin hanya Aremania yang paling
terorganisir dan terdidik secara kelompok. Meski kasus
jelek kelakuan Aremania tiap jumpa Persebaya tak akan
pernah lekang dari ingatan saya. Salah satu pemain
Persebaya pernah mengalami kebutaan pada matanya
akibat diketapel Aremania.

Namun melihat pertandingan kemarin, Aremania oleh
banyak kalangan pemerhati sepak bola sudah bisa tertib
saat Persebaya main di Kanjuruhan Malang, meski
lemparan botol minuman tetap ini. Ini yang saya paling
tidak mau dianggap “sudah tertib�? jika masih ada
lemparan botol minuman. Lemparan apa pun bendanya
tetap bukan indikasi ketertiban suporter.

Celakanya di Eropa pun masih ada yang seperti itu.
Sampeyan tentu ingat saat Luis Figo pertama kali
berbaju Real Madrid setelah pindah dari Barcelona.
Begitu Madrid main di Camp Nou, ada lemparan kepala
babi saat Figo mengambil sepak pojok. Tapi apa yang
dilakukan otoritas La Liga, Barcelona dan suporternya
dihukum. Pertandingan berikutnya, hanya siutan dan
makian terhadap Figo. Tidak ada lagi lemparan kepala
babi ke lapangan.

Kembali ke Indonesia, semua suporter klub sepak bola
Divisi Utama, kampungan. Bukan hanya bonek saja.
Perbedaannya hanya pada militansi. Jika Sakerahmania
(suporter Persekabpas Kabupaten Pasuruan) hanya berani
bawa celurit di Stadion Pogar Bangil. Tapi di luar
pasuruan cuma bisa teriak-teriak. Bonek tidak seperti
itu. Justru penamaan Bonek menandakan mereka bukan
jago kandang. Mereka berani ngluruk hingga Jakarta.

Jika LA Mania (Suporter Persela Lamongan) berani main
pentung kalau nonton di Stadion Surajaya Lamongan.
Bonek bawa pentungan sepanjang jalan Surabaya, Gresik,
hingga Lamongan. Mau tahu suporter di luar Jawa. Mac’z
Man (kelompok suporter fanatik PSM) punya militansi
yang hampir sama dengan Bonek. Mereka bawa ketapel
berisi paku yang diracuni kala PSM main di Gelora Bung
Karno di babak delapan besar musim lalu (2005).

Tapi kalau sudah main di Stadion Mattoangin, jangankan
kendaraan pribadi, bus yang membawa pemain tim lawan
pun berani mereka bakar. Mau yang lebih gila lagi.
Datanglah sekali waktu liat pertandingan Persiba
Balikpapan di kandangnya. Pemain Arema punya
pengalaman buruk dengan kelakukan supporter dan
pengurus Persiba. Pernah pemain Arema disel di
Poltabes Balikpapan gara-gara berselisih paham dengan
penonton Persiba saat latihan. Gila kan? Mau tanding
besok, hari ini disel.

Ini belum kalau cerita soal wasit ditusuk di Wamena
atau hujan batu yang dulu sering terjadi di Ternate.
Kebrutalan suporter bukan monopoli tim dari Indonesia
Timur saja.

Sekali waktu, mas anshor juga boleh melihat langsung
kelakuandua kelompok suporter besar PSMS Medan, Smeck
(ini singkatan dari Suporter Medan Cinta Kinantan) dan
Kampak (singkatan dari Kelompok Anak Medan Pecinta
Ayam Kinantan). Mereka punya cerita yang agak unik.
Jika PSMS bermain jelek, mereka sebenarnya cukup fair
dengan memberi dukungan pada tim lawan.

Tapi soal kelakuan anarkis, jangan heran kalau mereka
sebenarnya sama saja dengan Bonek. Sepeda motor yang
parkir di halaman Stadion Teladan, tak bakal aman jika
PSMS kalah. Militansi mereka sama dengan Bonek. Polisi
dianggap musuh yang selalu bertindak kasar pada
suporter. Akibatnya, perang lempar batu kadang terjadi
dengan polisi di luar stadion.

Dan di Jawa, militansi anarkisme ala Bonek, bukan
mutlak punya suporter asal Jawa Timur, provinsi yang
menyumbang klub divisi utama paling banyak di Liga
Indonesia. Bergeser ke Jawa Tengah, anda akan dapati
permusuhan abadi antara suporter Panser Biru (PSIS)
dengan suporter Persijap Jepara. Rivalitas Joglo Semar
(Jogja, Solo, Semarang) jadi rivalitas, Panser Biru,
Pasoepati (Solo) dan Brojomusti (PSIM). Cermati saja
nama mereka. Nama-nama serem yang berhubungan dengan
kosakata “PERANG�?. Jadi mas Anshor, saran saya, jangan
nonton di Stadion Mandala Krida kalau PSIM lagi
tanding lawan PSIS, terus anda dapat tiket di tribun
terbuka. Kecuali kalau anda ingin merasakan dilempari
batu.

Jawa Barat, lain lagi ceritanya. Tapi kalau bicara
bagaimana rasanya menonton di tribun terbuka Stadion
Siliwangi, baru anda bisa tidak menyalahkan anarkisme
Bonek semata dalam kasus kerusuhan di Tambaksari.
Kalau cermat membaca berita olahraga, tentu ingat
bagaimana Mayor Jendral (purn) I Gusti Kompyang
Manila, mantan kepala sekolah STPDN Jatinangor yang
juga mantan Manajer Persija Jakarta, kena lemparan
(maaf) tahi manusia dibungkus plastik yang tepat pecah
di kepala sang manajer. Bukan lagi batu, tapi tahi dan
kotoran manusia pula. Siapa pula pelakunya kalau bukan
suporter fanatik Persib.

Meski di Siliwangi, ada tiga kelompok suporter dengan
militansi yang berbeda-beda. Viking yang terkenal
paling militan dan tetap menjaga permusuhan dengan
suporter Persija (The Jakk) hingga saat ini, kemudian
ada Robocop, akronim dari Rombongan Bobotoh Kopo
(salah satu daerah di Bandung), Balad Persib, Jurig,
Superman dan nama-nama lain yang bakal anda temui
kalau duduk di tribun terbuka Stadion Siliwangi saat
Persib bertanding. Selain kotoran manusia tadi,
suporter Persib paling jago dalam soal lempar melempar
air kencing (manusia tentunya). Jadi kalau takut
terkena najis, ya jangan pernah nonton di Stadion
Siliwangi.

Bergeser ke Barat, Laskar Viola (suporter Persita
Tangerang) sampai sekarang tak pernah mau akur dengan
The Jakk. Jadi tiap kali Persita bertemu Persija, yah
jalanan di sekitar Stadion Benteng siap-siap saja jadi
ajang perang batu.

Sekali lagi mas Anshor, kebrutalan suporter di
Indonesia hampir mirip dengan korupsi. Terjadi
dimana-mana. Mengapa bisa terjadi, karena regulator
kompetisi macam PSSI dan Badan Liga Indonesia (BLI)
memang memeliharanya. Sanksi dari Komisi Disiplin
hanya biar mantes-mantesin� aja. Dendanya, tak pernah
dilaporkan duitnya dipakai untuk apa dan disimpan di
rekening siapa. Korupsi??? Nah ini yang mestinya
dibongkar KPK, karena putaran nilai uang satu musim
itu mencapai triliunan rupiah.

Komisi Bandingnya? Mereka tak pernah bersidang. Yang
menentukan justru staf PSSI di komisi banding.
Akibatnya, setiap klub bisa melakukan negosiasi.
Kesimpulannya, kerusuhan suporter justru dipelihara
PSSI biar mereka punya kerjaan dan dapat penghasilan
sampingan.

Mas Anshor, bicara soal penggeledahan sebelum suporter
masuk, ritual ini adalah janji polisi sebelum
pertandingan dimulai. Ritual yang sama misalnya
diucapkan berulang-ulang oleh jajaran Poltabes Medan
tiap kali PSMS mau tanding di Stadion Teladan. Bahkan
mereka melarang tiap minuman kemasan dalam bentuk
botol masuk ke stadion. Tapi yah lemparan terus
menerus terjadi. Kalau enggak pake minuman kemasan
dalam bentuk gelas, yah serpihan dinding atau alas
tembok stadion.

Aparat ini kan menjaga sesuai dengan jatah uang PAM
yang diberikan panpel. Yah maklumi saja keterbasan
mereka jika di Stadion Tambaksari, beberapa di
antaranya malah suka menjual karcis masuk yang sengaja
tidak disobek. Tidak percaya? Mungkin bisa cross cek
dengan wartawan olahraga asal Surabaya yang aktif di
milis ini.

Konvoi di Jalan Darmo yang dilakukan Bonek dan
menerobos arus lalu lintas. Ini bukan monopoli
suporter fanatik Persebaya. Coba sekali-kali anda liat
Viking (yang motonya Persib ataoe Mati!) berkonvoi
tiap kali Persib usai bertanding. Kalau menang
konvoinya biasa-biasanya saja. Biasa dalam arti mereka
melanggar lalu lintas tapi tidak merusak properti
publik. Nah kalau kalah, pot kembang di Jalan Asia
Afrika tempat kepala negara di Asia Afrika jalan-jalan
waktu Konferensi Asia Afrika, rusak semua.

Bonek selalu dapat tudingan kesalahan dengan eskalasi
paling berat karena memang sejarah militansi mereka.
Namun sekali lagi militansi suporter bukan semata
milik Bonek.

Seperti pemerintahan di negara ini, PSSI juga tak
pernah punya kepastian hukum. Segalanya bisa ditawar.
Jangan heran kalau masuk jadi pengurus PSSI itu
rebutan. Pengurus yang tak kepake memaki pengurus yang
masih aktif, demikian juga nanti kalau yang sekarang
ga jadi pengurus, mereka juga gantian akan dimaki oleh
mantan pengurus. Sampeyan bisa cermati omongannya
Tondo Widodo (dia ini mantan Kabid Organisasi PSSI).
Mana ada suara Tondo yang bagus tentang kepengurusan
Nurdin Halid. Lah zaman Nurdin dulu masih jadi Manajer
PSM, dia paling kenceng nuding PSSI disogok biar
Bandung Raya juara Liga Indonesia.

Di PSSI gaji enggak ada (kecuali karyawannya), tapi
kalau arek suroboyo bilang, sripilannya gueeddeee rek!
Dimana sripilan itu bisa didapat, yah dari memelihara
kerusuhan suporter. Caranya, dengan tak pernah tegas
menegakkan pedoman dasar PSSI atau merubah sana-sini
aturan dasar berorganisasi. Cara lain, yah
kongkalikong dengan manajer atau pengurus klub.

Kembali ke suporter di Indonesia, beberapa kelompok
sudah meninggalkan polah kampungan mereka. Aremania
berada pada urutan pertama. Mereka terorganisir dengan
baik dan punya unit usaha yang bisa dibanggakan oleh
anggotanya. Kreativitas mereka nomor satu. Banyak
kelompok suporter belajar dari Aremania.

Tapi sekali lagi, Aremania bukan tanpa cacat. Main
lempar botol minuman masih kerap dilakukan mereka jika
Arema tanding lawan musuh bebuyutan seperti Persebaya
atau tim tetangganya, Persema Malang. Satu lagi kisah
nyata kebrutalan Aremania. Saat itu bertanding Persema
vs Persebaya di Stadion Gajayana Malang pada ajang
Piala Gubernur Jatim tahun 2005. Ada beberapa orang
suporter Persebaya yang nekat datang ke Gajayana. Di
tengah bertandingan, mereka yang tidak berulah ini,
tiba-tiba ketahuan sebagai suporter Persebaya.
Akibatnya, mereka hancur babak belur layaknya maling
yang tertangkap basah di pasar. Padahal beberapa di
antara mereka hanya murid SMP. Siapa pelakunya,
mungkin bukan Aremania, tetapi yang jelas suporter
asli Malang. Jadi Aremania sekali lagi bukan tanpa
cacat.

Setelah Aremania, dalam hal kreativitas dan
berorganisasi, harus diacungi jempol adalah The Jakk,
Viking, Pasoepati, Panser Biru, Persik Mania, Kampak
hingga Bonek. Kreativitas dan cara mereka
berorganisasi jempolan. Mirip organisasi kepemudaan.
Tapi kalau bicara anarkisme, mereka masih tetap
melakukannya.

Level berikutnya mungkin Mac’z Man, Laskar Viola,
Smeck, hingga suporter Sriwijaya FC, Semen Padang,
atau Deli Serdang. Mereka kreatif juga, tetapi
massanya tak terlalu banyak. Stadion Mattoangin bisa
penuh oleh Mac’z Man tapi kalau bertandang, jarang ada
suporter PSM ini yang mau ngikutin timnya.

Yang levelnya paling parah ya suporter Persekabpas.
Gimana ga parah kalau ke stadion bawa celurit. Bukan
hanya tim lawan yang dilempari mereka, tapi juga
wartawan foto yang meliput di pojok lapangan. Ngeri
kan? Berada pada level ini juga LA Mania. Mereka ini
suporter-suport�er dadakan yang timnya tiba-tiba berada
pada tingkat paling elit kompetisi negeri ini. Nah
karena pantauan saya juga terbatas, mungkin kelompok
suporter di Indonesia Timur juga masuk ke level ini.

Oh ya mas Anshor, jangan sinis begitu ke Bonek dengan
mengatakan ga perlu bicara ilmiah dengan mereka. Saya
toh bondho nekat juga, tapi mau kok membuka ruang
diskusi dengan mas Anshor dan kawan-kawan milis ini.

Rivalitas keduanya tidak hanya hadir lewat kerusuhan dan peperangan, tetapi juga dengan nyanyian-nyanyi�an saat mendukung tim kesayangannya. Bonekmania, di kala pertandingan Persebaya melawan tim manapun, pasti akan menyanyikan lagu-lagu yang menghina Arema dan Aremania. Lagu-lagu yang menyebutkan Arewaria, Arema Banci, Singo-ne dadi Kucing, dan beberapa lagu lain kerap mereka nyanyikan di Stadion Gelora 10 November Tambaksari Surabaya. Hal yang sama juga dilakukan oleh Aremania, dimana lagu-lagu anti-Bonek,Arem�a bondo duit ora Bondo nekat, Bonek gembel2 Surabaya dsb juga mereka kumandangkan kala Arema menghadapi tim lain di Stadion Kanjuruhan.