Monday 4 March 2013

CLUB SEPAKBOLA YANG TINGGAL KENANGAN

1. KRAMA YUDHA TIGA BERLIAN ( KTB )
    
Krama Yudha Tiga Berlian Palembang (disingkat KTB Palembang ) adalah sebuah klub sepak bola Indonesia yang bermarkas di Palembang. Tim ini merupakan tim yang dimiliki oleh PT. Krama Yudha Tiga Berlian Motor Palembang sebelum pada akhirnya berhome base di BEKASI.

berikut perjalanan KTB dari masa ke masa:
Sebagai juara Piala Liga V/1989, KTB mewakili Indonesia di Piala Winners Asia I/1990-1991. Pertandingan babak I melawan Geylang International (Singapura) pun dilakukan secara sistem home and away. Di Indonesia (23 Desember 1990), kedua tim bermain imbang 1-1. Begitupun di Singapura (29 Desember 1990), kedua tim bermain imbang 2-2. Meskipun secara agregat gol berimbang (3-3), KTB unggul gol tandang dan sekaligus lolos ke babak II yang akan menghadapi Dalian (China).
Pertandingan babak II yang dilakukan secara home and away pun telah ditetapkan. Namun, karena cuaca di China sedang kurang baik, AFC menetapkan tempat pertandingan di Singapura (29 dan 31 Januari 1991).
Untuk mempersiapkan diri, KTB meminjam Yusuf Ekodono (Persebaya Surabaya), Fachri Husaini (Petrokimia Putra Gresik), dan Gunung Ginting (Bentoel Jember), serta empat pemain Persib (Robby Darwis, Adjat Sudradjat, Dede Iskandar, dan Sutiono Lamso).
PSSI melarang Robby Darwis untuk memperkuat KTB karena sedang berkonsentrasi di pelatnas timnas Indonesia asuhan A.F. Polosin untuk Merdeka Games Cup 1991. Lalu, KTB pun berencana untuk menggantinya dengan Adeng Hudaya. Di dalam timnas Indonesia sendiri, KTB mengikutsertakan tiga pemainnya (Eddy Harto, Toyo Haryono, dan Kashartadi).
Pertandingan KTB vs Dalian batal. AFC pun menetapkan jadwal baru: di Palembang (28 Februari 1991) dan di Dalian (6 Maret 1991). Kali ini, KTB menambah Nyanyang (Persib) untuk turut memperkuat tim, termasuk Robby Darwis yang diminta lagi karena tidak berbarengan dengan Merdeka Games Cup 1991.
Pertandingan KTB vs Dalian batal lagi. Jadwal pun menjadi tidak menentu. Lalu, KTB menuntut ganti rugi dan sekaligus meminta AFC agar bersikap tegas.
PSSI melalui Sekretaris Umum Nugraha Besoes menyatakan bahwa kemenangan bagi KTB 2-0 secara WO
Apa pun hasilnya, KTB tetap mempersiapkan diri kembali. Kali ini (Maret 1991), enam pemain Persib dipinjam. Mereka adalah Adjat Sudradjat, Sutiono Lamso, Nyanyang, Yusuf Bachtiar, Robby Darwis, dan Dede Iskandar.
Dalam perkembangannya (April 1991), KTB siap mentransfer lima pemain Persib (Adjat Sudradjat, Dede Iskandar, Nyanyang, Robby Darwis, dan Iwan Sunarya) selama empat bulan.
PSSI mempertanyakan kasus KTB vs Dalian. AFC pun memutuskan pertandingan diulang. Faktanya, pertandingan tersebut tidak pernah terjadi.
KTB dinyatakan menang atas Dalian. Sjarnoebi Said pun memuji usaha Kardono (Ketua Umum PSSI) dan Nugraha Besoes (Sekretaris Umum PSSI). Namun, Nugraha Besoes mengaku tidak pernah memberikan pernyataan soal KTB tersebut
Putaran I Galatama XI/1990-1992 berakhir pada 30 Mei 1991 dengan menampilkan pertandingan Pelita Jaya (Jakarta) vs KTB (Palembang) 1-1 di Stadion Sanggraha Pelita Jaya, Lebakbulus (Jakarta Selatan). Hasil pertandingan ini membuat Pupuk Kaltim menempati peringkat pertama dengan mengatasi Pelita Jaya (runner-up). Pada masa ini, putaran II direncanakan bergulir pada akhir Juni atau awal Juli 1991.
Eddy Harto (penjaga gawang KTB dan timnas Indonesia) diijinkan ke President’s Cup 1991 di Seoul, Korea Selatan. Timnas Indonesia gagal total dan Eddy Harto sempat kemasukan 12 gol.
KTB mengundurkan diri dari Piala Winners Asia I/1990-1991. Selain kecewa di Piala Winners Asia I/1990-1991, “rumors”-nya, Sjarnoebi Said (pemilik KTB) menganggap “mental” Eddy Harto terganggu karena telah kemasukan 12 gol.
Abdul Kadir, pelatih KTB, mempertimbangkan untuk mengundurkan diri.
Pada Juni 1991, KTB sudah dilaporkan mundur. Dalam perkembangannya pula, KTB didiskualifikasi dari Piala Winners Asia I/1990-1991.
AFC menjatuhi denda 3.000 Dolar kepada KTB.
KTB pun akhirnya bubar dan tentu saja tidak ikut serta dalam (putaran II) Galatama XI/1990-1992.
sumber : wikipedia

2. ARSETO

Arseto Solo merupakan sebuah klub sepak bola Galatama dari Solo. Klub ini berdiri pada tahun 1978, yang didirikan oleh Sigid Harjoyudanto, yang merupakan putra mantan Presiden Soeharto. Pemilihan nama Arseto sebagai nama tim, memiliki 2 kemungkinan, yakni Aryo Seto yang merupakan tokoh pewayangan, atau Ari Sigit Soeharto, putra dari Sigid Harjoyudanto.
Pada mulanya, klub ini bermarkas di Jakarta. Namun, sejak tahun 1983, setelah presiden Soeharto mencanangkan tanggal 9 September sebagai Hari Olahraga Nasional saat peresmian Stadion Sriwedari Solo, Arseto mulai memainkan pertandingan kandangnya di Solo.
Kostum kandang yang dipergunakan Arseto berwarna biru muda, sehingga Arseto dijuluki "Tim Biru Langit".
Arseto menyatakan pembubaran timnya pada tahun 1998, setelah terjadinya kerusuhan massa pada tahun tersebut. Pertandingan terakhir yang mereka jalani adalah saat melawan Pelita Jaya.

Arseto akan selalu dikenang karena melahirkan bomber timnas Ricky Yacob
sumber : wikipedia

3. NIAC MITRA




     Juni 1983, sepakbola Indonesia kedatangan tamu istimewa. Klub asal London, Arsenal berkunjung ke Indonesia dan melakukan laga persahabatan dengan beberapa klub lokal baik dari Galatama maupun perserikatan. Meski saat itu nama Arsenal belumlah setenar sekarang, namun kedatangan tim yang diperkuat penjaga gawang legendaris Inggris Pat Jennings serta legenda mereka David O’Leary masih mampu menarik pecinta bola untuk menyaksikan laga persahabatan tersebut. Setelah menang 3-o atas PSMS plus Medan dan 5-0 melawan PSSI selection, Arsenal menyempatkan diri bertanding melawan juara Galatama Niac Mitra sebelum melanjutkan perjalanan ke Bali untuk liburan. Dan di Stadion 10 Nopember itulah Arsenal ketemu batunya.
Tak ada yang menyangka bahwa klub berjuluk Meriam London itu bisa takluk 0-2 di tangan Joko Malis dkk. Gol dari Fandi Ahmad dan Joko Malis menutup perjalanan Arsenal di Indonesia dengan kekalahan. Meski saat itu banyak yang menuding kekalahan Arsenal disebabkan faktor pertandingan dilangsungkan pukul 14.00 saat terik matahari menyengat kota Surabaya.
Sejarah Niac Mitra adalah sejarah Galatama. Bersama klub Pardedetex, Jayakarta, Indonesia Muda, dan Warna Agung Niac menjadi pelopor Galatama untuk kompetisi pertama, 1979. Nama besar Niac Mitra adalah jaminan membludaknya penonton setiap kali mereka bertanding. Dan nama besar Niac Mitra itulah yang kemudian ingin dimanfaatkan oleh administratur Liga untuk membantu klub-klub baru Galatama untuk menarik minat penonton datang ke stadion.
Musim kompetisi 1990/1991, Administratur Liga memberlakukan aturan kompetisi baru. Tidak ada lagi pembagian divisi. Artinya, semua klub dilebur jadi satu, termasuk klub baru yang belum pernah mengikuti kompetisi Galatama seperti Summa FC dari Dili dan Makassar Perkasa dari Ujungpandang. Lalu dibagi tiga wilayah: timur, tengah, dan barat. Hanya juara dan runner-up tiap wilayah bertanding di Jakarta untuk menentukan juara Galatama. Semua klub di Jawa kecuali Niac masuk wilayah tengah. Juara Galatama Pelita Jaya, misalnya, bisa mengunjungi lawan-lawannya dengan jalan darat, kereta api atau bis, jika mau berhemat. Sungguh tak adil menempatkan Niac di wilayah timur. Ia harus main di Bontang, kandangnya klub Pupuk Kal-Tim, terbang ke Ujungpandang menemui Makassar Perkasa, ke Banjarmasin melawan Barito Putra, ke Samarinda menghadapi Putra Mahakam, ke Denpasar menantang Gelora Dewata, dan ke Dili menjajal Summa FC. Bayangkan, berapa besar biaya terbang itu. Dan ketika Niac menjamu tamu-tamunya, bayangkanlah sepinya stadion karena lawan Niac kesebelasan bau kencur. Padahal, pemasukan untuk klub adalah bertanding di kandang sendiri.
Pendiri Niac Mitra, Alexander Wenas akhirnya memutuskan untuk membubarkan klub yang sudah tiga kali menjuarai Galatama tersebut sebagai bentuk protes atas ketidak adilan Liga pada klubnya. Bukan karena masalah ruginya, namun lebih pada tidak adanya pembagian divisi yang mencerminkan adanya prestasi. Itu artinya, ujar Wenas,”membuyarkan apa yang sudah dicapai Galatama. Mundur sekian langkah.” Langkah Liga yang bermaksud menolong klub-klub baru justru menjadi bumerang bagi salah satu klub pendirinya. Meski kemudian datang uluran tangan dari Dahlan Iskan, Wenas bersikukuh membubarkan Niac Mitra, namun tetap mempersilahkan bos Jawa Pos tersebut mengambil alih klub asalkan tidak memakai nama NIAC (New International Amusement Center, nama gedung bioskop yang dimiliki Wenas). Wenas lalu mengusulkan nama Mitra Surabaya FC. Sedangkan nama Niac Mitra dikubur bersama sejarah kebesarannya.
Kejadian pada kompetisi Galatama musim 1990/1991 mengingatkan kita dengan kisruh PSSI saat ini. Saat pertama kali PSSI memutuskan format kompetisi satu wilayah dengan 24 klub, sebanyak 18 klub dari kompetisi musim (ISL) lalu memutuskan mundur dan membentuk liga tandingan. Alasan mereka adalah besarnya biaya dan bayangan kerugian jika kompetisi cuma satu wilayah, selain alasan klasik adanya 6 klub gratisan. Namun langkah mereka bertolak belakang dengan apa yang dilakukan Niac Mitra. Alih-alih membelot, Wenas lebih memilih membubarkan klubnya.
Apa yang sudah diperlihatkan Wenas sepatutnya ditiru oleh klub-klub lainnya. Daripada terus merugi, dan merengek meminta subsidi pemerintah, membubarkan klub adalah langkah yang lebih rasional. Tak ada salahnya, toh Piacenza, klub yang sempat menjadi Kuda Hitam pentas Serie A di era 90-an ini pun bubar setelah dinyatakan bangkrut akibat merugi terus. Mempertahankan klub sepakbola yang merugi dengan alasan sebagai sarana hiburan rakyat adalah sesuatu yang nonsens. Apakah benar sepakbola adalah satu-satunya hiburan buat rakyat kecil? Pun demikian dengan alasan klub tersebut adalah ikon dan dianggap sebagai status kebanggaan sebuah kota. Karena tanpa klub sepakbola, sebuah kota juga masih bisa eksis dan menunjukkan kebesaran mereka.
sumber : tabloid bola
niac mitra reunited :


ketiga club teratas adalah mantan macan club sepakbola,dari lawan-lawan mereka yang masih eksis adalah AREMA,PELITA JAYA,BARITO PUTRA dan Niac Mitra beralih nama ke MITRA KUKAR (meskipun kebanyakan fans dari Surabaya tidak pernah merasa sama )...Namun saya yakin suatu saat club-club ini pasti dibangkitkan lagi mengingat nama besarnya telah mengakar pada supporternya,disamping itu nama mereka pasti akan menyedot penonton,sponsor dan hak siar.

http://rosehanstory.blogspot.com

No comments:

Post a Comment