Wednesday 27 March 2013

SBY Si Pesolek Jenderal Brutus


Rekam jejak hitam Sang Jenderal.
SEMUA tokoh tentu memiliki catatan hitam dalam perjalanan karier mereka menuju puncak. Mulai dari tokoh dunia semacam Napoleon Bonarpate, Adolf Hittler, John F Kennedy, sampai tokoh nasional seperti Soekarno, Soeharto, Wiranto, Prabowo, tak luput juga “bapak” kita yang satu ini: Susilo Bambang Yudhoyono.
Ini adalah cerita yang disadur dari arsip salah satu catatan teman, yang dia dapat dari sumber-sumber orang lingkaran kekuasaan yang tahu rekam jejak sang Jenderal dalam merintis karir. Yang jelas, tak selamanya jujur. Itulah dunia politik.
Menurut penilaian orang-orang yang kenal dan tak begitu simpati pada jenderal ini, SBY diidentikkan dengan Marcus Brutus. Brutus adalah kawan, anak buah, dan orang yang sangat dipercaya Julius Caesar, kaisar Romawi. Tapi Brutus pulalah yang menusuk sang kaisar dengan pisau dari belakang hingga mati.
Karakter Brutus akhirnya dipakai untuk menggambarkan seorang yang berkhianat terhadap orang yang menolongnya, melindunginya, bahkan mempercayainya. Karakter ini hampir selalu muncul dalam pergulatan politik.
SBY bahkan mengambil peran sebagai Brutus untuk tiga presiden; Habibie, Abdurrahman Wahid dan Megawati. Bedanya, Brutus zaman Romawi akhirnya mati bunuh diri, sedangkan SBY ini terbilang Brutus yang masih langgeng dan beruntung. Tak tahu lagi bagaimana nasibnya ketika huru-hara Demokrat berjumpa dengan ending.
Era Reformasi
DI akhir zaman Soeharto, SBY adalah Kasospol ABRI di bawah Panglima ABRI Wiranto. Tanggal 16 Mei 1998 Mabes ABRI di Jalan Merdeka Barat, Jakarta, dipenuhi wartawan karena ada siaran pers soal Wiranto yang meminta Soeharto mundur. Tapi Wiranto tak muncul-muncul.
Ketika banyak orang sedang menunggu-nunggu Wiranto, Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) ABRI, Wahab Mokodongan, tiba-tiba membagikan siaran pers yang isinya menimbulkan kontroversi: ABRI Mendukung Pernyataan PBNU. Padahal pernyataan salah satu organisasi massa terbesar di Tanah Air itu adalah minta Soeharto turun.
Mendapati ada siaran pers itu, Wiranto kaget. Kemudian baru diketahui bahwa SBY-lah yang mengkonsep siaran tersebut. Usut punya usut, ternyata dengan cara itu, SBY bermaksud mendorong dan menjebak Wiranto agar mengambil alih kekuasaan. Akibat dari manuver tersebut, Wiranto sempat kena tuding mau mengkudeta Soeharto.
Seperti ditulis di bukunya, SBY bahkan sempat bertanya pada Wiranto, “Apakah Bapak akan ambil kekuasaan?” Ambisi Jenderal satu ini memang besar.
Ketika itu target jabatan SBY adalah Pangab. Kalau Wiranto bisa jadi Presiden dengan mengambilalih kekuasaan dari Soeharto, tentu dia yang akan ditunjuk jadi Pangab, orang nomor satu di ABRI. Tapi, manuver Wiranto yang ditunggu-tunggu tak juga dilakukan. SBY bahkan menuding seniornya itu penakut.
Tapi, setelah Soeharto jatuh dengan sendirinya, akibat mahasiswa menggelar aksi turun ke jalan, SBY memanfaatkan momentum itu dan dieksploitasinya sebagai bentuk keberpihakannya pada kelompok reformis. Ke mana-mana ia mengatakan kalau dia adalah ABRI reformis dan ABRI perlu paradigma baru. Dengan tampil sebagai sosok seolah-olah berpihak pada perubahan, SBY tampil dalam elite politik pada pemerintahan pasca Soeharto.
Pada masa pemerintahan Habibie (1998-1999), SBY menjabat Kepala Staf Teritorial (Kaster) ABRI. Jabatan ini sama sekali tak memuaskannya karena tak memberinya peluang untuk leluasa bermanuver politik. Ia sangat gerah pada pemerintahan Habibie, karena pada dasarnya dia sama sekali tak percaya pada pemerintahan sipil. Berhubung ABRI masih ada di bawah Pangab Wiranto, SBY tetap harus loyal pada atasannya itu. Apapun kata Wiranto, ia patuhi.
Dalam situasi yang sama, dia juga memanfaatkan Wiranto. Dalam kasus Jajak Pendapat Agustus 1999 di Timor Timur, contohnya, SBY mendukung Wiranto yang setuju agar dilakukan jajak pendapat. Ia juga yang meyakinkan Wiranto agar Jajak Pendapat itu dilaksanakan. Sementara Presiden Habibie setuju-setuju saja dengan rencana ini, karena dia memang sedang mendambakan Nobel Perdamaian yang bisa membuatnya terpilih lagi dalam Sidang Umum MPR, Oktober 1999.
Tapi hasilnya malah jauh dari harapan: Timor Timur lepas. Ribuan nyawa tentara yang berkorban dalam aneksasi Timor Timur tahun 1975 lalu terbuang sia-sia. Tapi di saat yang sama, SBY malah dipuji Amerika karena sudah ”menjalankan misi dengan baik”. Sudah lama AS dan negara sekutunya, Australia, ingin Timor Timur pisah dari Indonesia. SBY dan Wiranto juga berhasil mendorong Habibie yang ultra-liberal agar Jajak Pendapat menghasilkan kemerdekaan Timor Timur.
Ketika Sidang Umum MPR Oktober 1999, Wiranto sempat maju jadi capres kendati ketika itu belum melepas jabatannya sebagai Pangab. SBY-lah yang mendorong Wiranto untuk maju.
Bahkan, ketika dia menyatakan mencabut pencalonannya sebagai capres, orang yang paling menonjol berdiri di belakang Wiranto adalah SBY. Gambar Wiranto-SBY kala itu bisa dilihat dalam iklan-iklan Wiranto di awal-awal masa reformasi dulu. Di situ, SBY kelihatan seperti ajudan Wiranto dengan pandangan lurus ke depan tak berkedip.
Sidang Umum MPR akhirnya dimenangkan Abdurahman Wahid yang didukung Poros Tengah. Aliansi Poros Tengah berhasil menjegal Megawati yang partainya, PDIP, menang Pemilu Juni 1999.
Menikam Gus Dur
KETIKA berkuasa, Presiden Abdurrahman Wahid mengangkat SBY jadi Menteri Pertambangan dan Energi (Mentamben) pada 26 Oktober 1999. Ini adalah deal dengan ABRI. Waktu itu dia masih jenderal aktif.
SBY berhasil mendapat simpati dan kepercayaan dari Gus Dur. Ia bahkan mendapat pekerjaan dan tugas di luar kewenangannya sebagai Mentamben. Gus Dur memperlakukannya seperti anak emas. Bahkan Gus Dur menunjuknya sebagai negosiator dengan pihak Keluarga Cendana agar mau mengembalikan kekayaan Soeharto yang diduga hasil korupsi saat menjadi Presiden.
Bolak-balik SBY datang ke rumah Siti Hardiyanti Rukmana (Tutut) untuk menyampaikan keinginan Gus Dur. Tapi, yah, rupanya tak ada upaya serius kecuali ngobrol-ngobrol ringan saja dengan beberapa anggota Keluarga Cendana.
Ketika menjabat sebagai Mentamben pun tak ada prestasi apa-apa. Ia cuma rajin melakukan kunjungan-kunjungan dan pidato-pidato normatif. Untunglah, ada Dirut Pertamina yang cukup andal ketika itu: Martiono. Jadi cacat tugas-tugas pertambangan dan energi ada yang menutupi.
Ketika Gus Dur merombak kabinetnya 26 Agustus 2000, SBY tetap dipercaya dan mendapat promosi sebagai Menteri Koordinator Politik, Sosial dan Keamanan (Menko Polsoskam). Kepercayaan ini diberikan karena SBY pernah bersumpah akan mendukung Presiden Gus Dur hingga selesai. Tapi pada kenyataannya harapan Gus Dur itu bertepuk sebelah tangan.
Pemerintahan Gus Dur terus digoyang DPR karena kasus Buloggate dan Bruneigate. DPR bahkan sudah mengeluarkan Memorandum I dan Memorandum II, sebelum diputuskan adanya Sidang Istimewa (SI). Memorandum II keluar tanggal 30 April 2001 dan berakhir satu bulan. Bayang-bayang Sidang Istimewa mengancam pemerintahan Gus Dur. Ia benar-benar di ujung tanduk.
Sebagai langkah antisipatif, Gus Dur berunding dengan SBY untuk mengantisipasi agar pemerintahannya tak jatuh. Reputasi Gus Dur ketika itu sudah sangat jelek di masyarakat dan DPR. Di tengah keterpepetannya, Gus Dur meminta SBY mendukung langkah-langkahnya menghadapi DPR. Ketika itu SBY menyatakan dukungan sepenuhnya dan ingin membuktikan bahwa sumpah setianya tak cuma ada di kata-kata.
Karena itulah, awal Mei 2001 dibentuklah Tim Tujuh (7) yang diketuai SBY. Tim ini mendapat mandat Gus Dur agar merumuskan dan mengambil segala langkah politik yang perlu untuk mengatasi ketegangan antara Presiden dan DPR secara konstruktif dan komperehensif. Gus Dur juga minta SBY membuat konsep pelimpahan tugas dan wewenang Presiden kepada orang yang ditugaskan. Demikian tinggi kepercayaan Presiden Gus Dur pada SBY saat itu.
Hasil dari Tim Tujuh yang diketuai SBY adalah perlunya Maklumat Presiden, yang intinya melimpahkan wewenang pada pejabat yang ditunjuk. Atas saran SBY, pada 28 Mei 2001, Gus Dur membuat Maklumat Presiden yang memberi perintah agar diambilnya langkah dan tindakan khusus untuk menciptakan ketertiban, keamanan dan hukum secepat-cepatnya.
Maklumat diserahkan SBY. Gus Dur berharap SBY benar-benar bisa mengatasi keadaan sehingga situasi menjadi tenang.
Namun, apa yang terjadi? SBY malah sama sekali tak berbuat apa-apa. Ia tak melobi DPR, Wapres Megawati atau tokoh-tokoh politik kunci yang beroposisi terhadap Gus Dur. Sebaliknya, dia malah menaikkan posisi tawarnya dalam pentas politik nasional. Ia menempatkan diri seolah-olah pihak yang bijak, yang tak mau menggunakan kekuasaan sewenang-wenang.
Brutus
Keinginan-keinginan Gus Dur ditepisnya. Inilah pengkhianatan paling telanjang dalam politik Indonesia mutakhir: Gus Dur ditikam dari belakang. Lagi-lagi peristiwa ini mengingatkan kita pada Marcus Brutus yang menikam Julius Caesar.
Gus Dur sungguh kecewa. Harapannya pada SBY tak kesampaian.
Di saat cucu Hasyim Asy’ari itu di ujung tanduk, SBY malah mengabaikan perintahnya. Sumpah setianya seolah tak pernah ada. Malah, tak disangka, orang yang begitu dipercayanya justru menikamnya dari belakang.
SBY yang menganjurkan Maklumat, SBY juga yang mementahkannya.
Gus Dur tak tahu kalau SBY bukan semata-mata mengambil langkah itu karena rasional politik, tapi juga karena kawan-kawannya di pemerintahan Bush (AS) sudah pesan agar Gus Dur diganti. Pengamat politik Amerika, Jeffrey Winters, saat itu mengatakan Washington sudah memutuskan bahwa Gus Dur harus pergi.
Indikatornya Amerika sudah tak suka lagi pada Gusdur adalah; IMF tidak mengucurkan bantuan dana USD 400 juta. SBY juga beberapa kali melakukan kontak dengan Wakil Menteri Pertahanan AS, Paul Wolfowitz.
Dua hari sesudah Maklumat Presiden dikeluarkan, 30 Mei 2001, DPR sepakat menggelar sidang istimewa untuk Gus Dur. Karena sakit hati dikhianati, pada 31 Mei 2001 Gus Dur mengganti SBY dengan Agum Gumelar.
Berbeda dengan SBY, Agum jauh lebih loyal. Meski tak setuju dengan berbagai langkah Gus Dur, Agum tetap menunjukkan sikap ksatria sebagai orang yang bertahan dengan kawannya. Sementara SBY seringkali memperlihatkan sikap “colong playu”
Menelikung  Megawati
Ditendang oleh Gus Dur, Ambisi SBY malah berkobar. Meski baru menusuk Gus Dur dari belakang, ia berani tampil maju sebagai kandidat Wakil Presiden pada Sidang Istimewa MPR-RI, 25 Juli 2001, bersaing dengan Hamzah Haz dan Akbar Tanjung. Semua tahu, pada akhirnya Hamzah Haz lah yang jadi juara.
Presiden Megawati yang menggantikan Gus Dur bermurah hati menampung SBY yang keleleran, tanpa jabatan dan pekerjaan. SBY melalui orang-orang dekatnya memang melobi Mega agar memakainya menjadi menteri.
Mulanya Mega ragu, karena rekam jejak tingkah laku SBY yang tak pernah setia dan cenderung berkarakter seperti Brutus. Tapi dengan tampang melasnya, SBY meminta-minta dan berjanji akan bekerja sebaik-baiknya. Naluri keibuan Mega tak tega menolaknya.
Tanggal 10 Agustus 2001, SBY diangkat menjadi Menko Polkam Kabinet Gotong Royong. Dari sinilah ia habis-habisan membangun citra sebagai orang yang mengendalikan Megawati. Karena Megawati hemat bicara, SBY menempatkan diri semacam juru bicara pemerintah.
Apa prestasi SBY dalam Kabinet Mega? Lagi-lagi tak ada yang istimewa. Tugas-tugas penanganan konflik Ambon dan Poso justru lebih banyak dilakukan Menko Kesra Yusuf Kalla.
Di Jakarta, kalangan politisi menyindir SBY salah tempat. Harusnya dia yang jadi Menko Kesra atau Menteri Sosial. Menurut penilaian para politisi ketika itu, SBY sangat takut menangani konflik Ambon yang penuh darah. Ia ngeri untuk datang ke Ambon dan minta Kalla mewakilinya. Lahirnya Malino I dan Malino II jelas bukan prakarsa SBY.
Para wartawan bahkan tahu bagaimana SBY hanya ingin tampil ketika penandatangan perjanjian damai Malino I dan II dilakukan. SBY di ruang rias hampir satu jam untuk menata wajah dan rambutnya agar kelihatan keren ketika dipotret atau disorot kamera. Para hadirin dipaksa lama menunggu SBY merias diri sebelum penandatanganan itu.
Dalam konflik Aceh, SBY adalah orang yang mengumumkan status darurat militer di Provinsi itu pada 19 Mei 2003. Tapi dia hanya satu-dua kali berkunjung ke Aceh melihat pelaksanaannya.
Sebagai Menko Polkam, SBY piawai menggunakan kesempatan dan fasilitasnya untuk menggalang dukungan. Kantor Menko Polkam dijadikan alat untuk membina basis massa dan kendaraan politik yang akan dipakainya. Ia membentuk tim angket Kementrian Polkam serta tim monitoring evaluasi dan pengamanan pemilu di 24 provinsi dan 24 kabupaten/kota. Langkah ini untuk mengukur sejauh mana aspirasi dan kehendak masyarakat dalam pemilu legislatif 5 April 2004 dan pilpres 5 Juli 2004.
Ia juga menggunakan iklan ajakan damai di televisi untuk memperbesar popularitas. Semua itu dibiayai Kementerian Polkam.
Inilah langkah sistematis SBY untuk menikam Mega dari belakang. SBY kembali membuktikan dirinya sebagai Brutus, kali ini terhadap Presiden Megawati.
September-Oktober 2003, foto-foto SBY beredar dalam bentuk poster, stiker dan spanduk Partai Demokrat. Tanggal 9 Februari 2004, di majalah Tempo, terang-terangan SBY menyatakan siap jadi presiden. Ia juga mengaku punya pertalian dengan Partai Demokrat.
Tanggal 10 Februari 2004, SBY membuat lagi pernyataan lanjutan kalau dia siap mundur dari kabinet jika resmi ditetapkan sebagai calon presiden. Langkah dan manuver SBY itu jelas mengganggu kinerja Kabinet Mega.
Para pentolan PDIP menilai SBY tengah melakukan plot politik. Harusnya SBY tidak plin plan. Jika mau maju jadi presiden, kenapa tak langsung mundur saja dari kabinet atau tetap menjalankan tugas Menko Polkam seperti amanat yang diberikan padanya?
Taufik Kemas, suami Presiden Megawati yang juga fungsionaris PDIP menjadi berang. Ia tak sabar dengan manuver SBY. Tanggal 2 Maret 2004, ia menyebut SBY seperti “anak kecil.”
“Masak, jenderal bintang empat kayak anak kecil begitu,” kata Taufik di Jakarta. Pernyataan TK (begitu panggilan akrab Taufik) adalah hasil provokasi yang dijalankan “tim sukses” SBY yaitu Sudi Silalahi, sekretaris Menko Polkam.
Sebelumnya, 1 Maret 2004, Sudi bicara di depan wartawan bahwa SBY dikucilkan Presiden Megawati. SBY, kata Sudi, tak dilibatkan dalam berbagai rapat penting Kabinet Mega. Kontan saja, suhu politik agak meningkat. Provokasi Sudi berhasil memancing amarah orang-orang PDIP.
Drama politik SBY menjadi perhatian publik. Ia menciptakan kesan sebagai orang yang teraniaya, tertindas dan terkucil oleh kekuasaan Presiden Mega. Fenomena ini sungguh ironis.
Kenyataannya, justru Megawati adalah orang yang ditikam dari belakang oleh SBY. Megawati yang melindungi, mempercayai, dan memberi kewenangan yang besar pada SBY, justru dikorbankan untuk mendongkrak popularitas SBY dan Partai Demokrat. Jangankan terima kasih, langkah Brutus SBY ini bahkan dijadikan bahan kampanye Partai Demokrat di berbagai daerah.
Ternyata apa yang dilakukan SBY sebagai Menko Polkam bukan untuk kemaslahatan rakyat atau kebaikan bangsa, melainkan hanya semata-mata batu loncatan bagi ambisi pribadinya jadi Presiden. Pola Brutus SBY memang bukan baru. Seperti diceritakan sebelumnya, SBY telah berbakat jadi Brutus (pengkhianat/penusuk dari belakang/penggunting dalam lipatan/penyalib di tikungan) sejak zaman Soeharto.
Langkahnya yang culas dan licik sebagai Brutus lebih mantap di zaman Habibie dan Gus Dur serta puncaknya pada 11 Maret 2004 ketika ia mundur dari Kabinet Megawati. Megawati yang membutuhkan bantuan Menko Polkam dalam penanganan politik nasional dan keamanan Pemilu ditinggalkan begitu saja, tanpa pertanggungjawaban.
Gemar Rapat di Tengah Konflik
Tahun 2001, di masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid, stabilitas politik dan keamanan betul-betul goyah. Di Jakarta, atau kota besar lainnya, ancaman perampokan, pembunuhan, atau pencurian, merajalela. Lampu merah (lampu lalu lintas) adalah daerah bahaya satu, karena di situ beroperasi kelompok “Kapak Merah”.
Ketika lampu merah menyala, tiba-tiba saja serombongan anak muda bersenjata kapak, pisau, atau golok -terkadang bersenjata api-menyatroni mobil yang sedang berhenti, memecahkan kacanya, lalu merampok penumpangnya, dan pergi seenaknya saja meninggalkan korban, yang tak jarang sudah dianiaya dulu.
Polisi seakan tak berdaya. Situasi itu menyebabkan rakyat terpancing main hakim sendiri. Maling motor yang tertangkap dibakar hidup-hidup. Adegan mengerikan itu adalah pemandangan sehari-hari, di mana-mana.
Itu belum seberapa. Berbagai daerah juga bergolak. Aceh, misalnya, seakan sudah terpisah dari Republik. Bayangkan, Presiden Abdurrahman Wahid datang ke Banda Aceh, ketika itu, hanya berani sampai Masjid Raya. Bicara sebentar, langsung balik ke bandar udara, terbang pulang ke Jakarta.
Di Ambon, Maluku, “perang” Islam-Kristen mencapai puncaknya. Tak terhitung nyawa yang melayang, bangunan yang terbakar, atau perkantoran yang dimusnahkan. Peristiwa serupa terjadi di Poso, Sulawesi Tengah. Di berbagai daerah di Kalimantan, orang Dayak “perang” melawan suku pendatang, Madura. Korban tak lagi terhitung.
Ketika itu yang jadi Menko Polkam adalah Jenderal (Purn.) Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), yang berambisi jadi Presiden RI. Sebagai penanggungjawab stabilitas politik dan keamanan di kabinet, apa yang SBY lakukan? “Ooh dia rapat terus, diskusi terus, sampai berbulan-bulan,” kata seorang Menteri yang ketika itu masuk jajaran Polkam.
Dan hasil rapat-rapat melelahkan yang dipimpin SBY itu, dibentuklah Desk Aceh, Desk Ambon, Desk Poso, Desk Sampit, dan entah Desk apa lagi. Apa kerja Desk itu? Jangan tanya, karena mereka rapat terus, diskusi terus, seminar terus. “Saya lihat orang-orang yang bunuh-bunuhan di Ambon, Poso, atau Sampit, sudah mulai capek. Mereka juga sudah capek membakar rumah, saking banyaknya rumah yang dibakar. Tapi rapat belum menghasilkan keputusan apa pun,” kata Menteri tadi.
Suatu hari rapat berlangsung lagi dipimpin SBY. Seperti biasa, diskusi berlangsung seru antara peserta rapat dan SBY moderatornya, persis seperti diskusi atau seminar yang biasa dilakukan di hotel-hotel.
Tiba-tiba, SBY memerintahkan Mayjen Aqlani Maja, Staf Ahli Menhankam, yang bertugas mewakili Menhankam Mahfud MD, untuk memberikan pendapat. Konon, Aqlani langsung bicara, “Pak Menteri, saya kira sudah lebih 3 bulan kita rapat terus. Semua kita diskusikan. Orang yang bunuh-bunuhan di Poso, Ambon, atau Kalimantan, tampaknya sudah capek, mereka sudah berhenti sendiri.Tapi rapat belum mengambil keputusan apa pun. Kalau Pak Menteri minta pendapat saya, apa saja yang Pak Menteri putuskan saya setuju. Yang penting, kita harus punya keputusan. Saya kira itu yang penting.”
Wajah SBY langsung merah-padam. Mungkin malu sekaligus marah karena merasa dihina. “Ini bukan rapat kedai kopi, yang hadir di sini para Menteri,” teriak SBY. Semua terdiam. Tapi beberapa Menteri, di antaranya, Menteri Otonomi, Prof. Ryaas Rasyid, secara sembunyi-sembunyi menunjukkan jempol jari tangannya kepada Aqlani, sebagai tanda mendukung. Rapat pun bubar, sekali lagi: tanpa keputusan apa pun.
Menurut sebuah sumber, Aqlani berani bicara seperti itu, selain karena kesal mengikuti rapat yang melelahkan tanpa keputusan itu, ia memang sudah lama kenal watak SBY. Ia dan SBY sama-sama ikut pendidikan militer di Port Leavenworth, Amerika. Di sana pula mereka mengikuti pendidikan S2, dan sama pula lulusnya. Sebelumnya, mereka pernah pula jadi dosen di Seskoad, Bandung, ketika Komandan Seskoad dijabat Feisal Tanjung. Jadi ia tahu betul kalau SBY itu adalah tipe orang yang tak bisa membuat keputusan (indecisive), apalagi keputusan itu berisiko.
Karena cacat personalitinya itulah, semasa menjadi Menko Polkam nyaris tak satu pun keputusan penting -apalagi yang berisiko tinggi datang dari kantor Menko Polkam. Kantor Menko Polkam, di kalangan para Menteri, sering diejek sebagai kantor “Seminar”. Seperti diketahui, masalah Poso dan Ambonakhirnya ditangani Jusuf Kalla, yang ketika itu menjabat Menko Kesra yang kemudian muncul Perjanjian Malino I dan II.
Kalau saja SBY punya rasa malu, seharusnya ia mengundurkan diri dari kabinet saat Malino I dan II ditandatangani dan mendapat restu dari Presiden. Memang gara-gara Malino itu SBY marah besar kepada Jusuf Kalla, yang telah mengambil alih wewenang dan tanggung jawabnya, tapi untuk mundur dari kabinet, tentu saja orang seperti SBY tak akan mau.
Ada lagi kisah dramatis sekaligus memalukan. Sewaktu Aceh diputuskan menjadi daerah darurat militer, SBY menjadi pelaksana hariannya, dan pimpinan tertinggi adalah Presiden Megawati. Sejumlah pasukan yang dikirim dengan kapal sampai setengah bulan terkatung-katung di tengah laut, karena SBY tak juga memutuskan sikap pemerintah untuk pendaratan pasukan itu. Malah ada yang bilang, pasukan itu sempat tiga hari kelaparan karena persediaan makanan sudah habis.
Akhirnya di tengah moral pasukan yang sudah hancur seperti itu, barulah mereka didaratkan. Itupun setelah Presiden Megawati turun tangan. SBY? Seperti biasa, tak bisa membuat keputusan berisiko seperti itu. Hobinya cuma berbusa-busa bicara di TV dan koran, dengan bahasa yang selalu normatif karena takut berisiko kalau ucapannya salah-tapi disusun sesuai kaedah berbahasa Indonesia yang baik dan benar. Tanyakanlah pada kawan dan lawannya, tentang cacat SBY itu.
Jawabannya pasti tak jauh berbeda: SBY tak bisa mengambil keputusan. Mana mungkin seorang bisa jadi pemimpin apalagi menjadi Presiden, pengambil keputusan tertinggi yang sering penuh risiko dengan cacat personaliti yang sangat fatal seperti itu? Itu sebabnya, beberapa waktu lalu SBY dikenal sebagai si peragu yang kini kembali “dipercaya” rakyat, yang entah bodoh atau silau melihat penampilan sang jenderal yang selalu tampil klimis bicara normatif juga mementingkan popularitas itu. (*)

sumber : http://tofikpr.wordpress.com/2013/02/12/si-pesolek-jenderal-brutus/

No comments:

Post a Comment