Dalam laman Jakarta Globe Blogs (JG Blogs) dimuat satu tulisan yang membuat saya tertarik untuk membaca isinya. Tulisan itu ditulis oleh Antony Sutton, seorang blogger yang dalam profilnya disebutkan sebagai seorang fans Arsenal yang ingin meng-capture keindahan sepakbola di Asia Tenggara. Tulisan itu berbicara mengenai Brigata Curva Sud, kelompok supporter pendukung tim dari kota kecil, PSS Sleman. Baginya, Brigata Curva Sud (BCS) adalah hal yang baru pertama kali ditemui di tengah-tengah citra buruk supporter sepakbola Indonesia. Dengan semangat ala ultras yang dibawanya, BCS mewarnai tribun selatan Stadion Maguwoharjo ketika PSS bertanding.
Saya jadi ingin menulis sesuatu tentang BCS. Jika selama ini Sleman identik dengan Slemania, yang pernah menjadi supporter terbaik di Indonesia, maka kemapanan itu mulai diusik dengan keberadaan BCS. Saya tidak tahu persis kronologis berdirinya BCS. Namun saya mencatat BCS mulai menampakkan eksistensinya pada kompetisi Divisi Utama musim 2009/2010. Saya yang selalu menyaksikan pertandingan PSS Sleman dari tribun sebelah timur mengamati sekelompok supporter PSS berbaju hitam yang gemar menyanyikan chants berbahasa asing untuk mendukung PSS Sleman. Kelompok supporter berbaju hitam tersebut awalnya bukanlah kelompok yang besar, hanya terdiri dari beberapa puluh orang. Musim selanjutnya, sepertiga tribun kuning, yang kira-kira berkapasitas total 7.000 orang dipenuhi oleh supporter berbaju hitam. Saat itu saya masih menyebut kelompok tersebut dengan nama Ultras PSS, meskipun sebenarnya nama Brigata Curva Sud sudah mulai eksis. Musim 2011/2012 ini jumlah supporter berbaju hitam yang menyebut dirinya sebagai BCS semakin bertambah banyak. Pada pertandingan kandang terakhir musim 2011/2012 yang lalu, saat PSS melawan PPSM KN Magelang, seluruh tribun kuning dipenuhi oleh pasukan BCS. Semua yang ada di tribun kuning ikut berdiri dan bernyanyi sepanjang 2x 45 menit. Hal ini menghadirkan suasana mistis yang menggetarkan di stadion Maguwoharjo Sleman.
Apa yang menjadi cirri khas BCS dalam memberikan dukungan bagi PSS Sleman? Ciri yang paling khas adalah BCS selalu mengenakan kaos berwarna hitam dan memberlakukan wajib bersepatu ketika menyaksikan PSS bertanding. Keringat pemain yang berlari-lari sepanjang 2x 45 menit di lapangan harus diapresiasi dengan sopan. Caranya adalah dengan berpenampilan pantas ketika menyaksikan PSS berlaga. BCS berdiri dan bernyanyi selama 2 x 45 menit tanpa henti. Lagu-lagu (chants) yang dinyanyikan hampir semua adalah lagu baru yang belum pernah dinyanyikan oleh kelompok supporter lain di Indonesia. Ada satu lagu yang dijiplak dari lagu yang dinyanyikan oleh Curva Sud Milano (Suporter AC Milan) dan beberapa lagu berbahasa Inggris. Pada saat babak kedua akan dimulai, BCS akan melakukan koreo. Koreo ini merupakan kombinasi gerakan menggunakan kertas warna-warni dan membentuk pola tertentu. Koreo ini lazim dilakukan oleh supporter-suporter di Italia. Di Indonesia, banyak kelompok supporter melakukan gerakan koreo ini. Yang membedakan dari BCS adalah mereka berani menciptakan bentuk-bentuk yang sulit melalui koreo tersebut. Dan di akhir pertandingan, BCS selalu melakukan pyro show. Hal ini juga sudah banyak dilakukan oleh supporter sepakbola di Indonesia. Hanya saja aksi pyro show yang sedikit unik pernah dilakukan BCS pada musim 2010/2011 yang lalu kala menjamu Persebaya. Saat itu BCS menyalakan kembang api dan berjajar memanjang di sepanjang tribun selatan.
BCS di dalam memberikan dukungan bagi PSS Sleman berusaha menghindari lagu-lagu yang berbau rasis atau ancaman secara verbal. Jika biasanya supporter sepakbola Indonesia sering mengintimidasi lawannya dengan lagu “dibunuh saja”, BCS tidak pernah menyanyikan lagu dengan kalimat seperti itu. Tidak pernah pula BCS menyanyikan lagu-lagu yang menghina supporter tim lain. Meskipun sempat terlibat perseteruan dengan kelompok supporter lain, BCS tidak pernah merendahkan nama supporter lain ketika memberikan dukungan bagi PSS.
BCS adalah anomaly bagi supporter sepakbola Indonesia, yang baru saja tercoreng moreng namanya gara-gara empat nyawa melayang atas nama supporter sepakbola. Meskipun aksinya tergolong garang, namun BCS berusaha menghapuskan image kekerasan dan intimidasi berlebihan ketika mendukung tim kebanggaannya melalui tingkah laku mereka di stadion. Selain dukungan penuh yang diberikan di dalam lapangan, BCS juga terkenal tertib membeli tiket. Bagi mereka, menonton pertandingan dengan membeli tiket dengan harga penuh merupakan salah satu bentuk dukungan bagi tim kesayangannya. Di tengah banyaknya supporter sepakbola yang berusaha mencari gratisan untuk menonton tim kesayangannya bertanding, apa yang dilakukan oleh BCS ini merupakan hal yang patut untuk dicontoh.
Saya bukan seorang BCS. Saya bukan juga Slemania yang setia duduk di tribun hijau (tribun yang diperuntukkan bagi Slemania). Saya adalah pendukung PSS Sleman yang dari dulu sampai sekarang selalu ijen (sendirian). Saya tidak pernah bergabung dengan komunitas apapun. Bahkan ketika PSS Sleman bermain di Palangkaraya minggu lalu saya ikut menyusul ke sana sendirian. Namun saya kagum dengan rekan-rekan BCS. Militansi yang mereka tunjukkan membuat saya semakin mencintai PSS. Bukan hanya saya yang kagum. Banyak penonton di tribun merah berlomba-lomba mengabadikan aksi koreo yang menawan dari BCS. Bagi saya BCS adalah setetes air segar bagi persepakbolaan Indonesia. Rasa cinta yang besar bagi tim kesayangannya tidak harus ditunjukkan dengan intimidasi berlebihan bagi tim lawan dan tindak-tindak anarkisme. BCS tidak mengenal koalisi-koalisi-an. Siapapun supporter sepakbola, asal tidak membuat ulah adalah teman. Seandainya militansi tanpa kekerasan ala BCS ini bisa ditularkan ke seluruh Indonesia, saya pikir tidak perlu lagi ada korban selanjutnya yang jatuh hanya gara-gara berbeda kostum.
Selama masih satu Indonesia, tidak ada alasan untuk gontok-gontokan.
No comments:
Post a Comment