Oleh : Bambang Haryanto
Email : humorliner (at) yahoo.com
Kutukan Empu Gandring masih bersama kita.
Vengeance. Revenge. Vendetta.
Mata balas mata. Darah balas darah. Tangan balas tangan. Nyawa balas nyawa. Bakar balas bakar. Luka balas luka.
Seorang teman saya, Bakhuri Jamaluddin, punya daftar lebih panjang (termasuk melebihi 4 gelar akademisnya, plus gelar haji) tentang fenomena mengerikan di atas. Ia yang seusai kuliah di tahun 1980-an pernah mengajak saya ke Kuningan untuk menonton tim sepakbola putri, Buana Putri, karena kiper cantiknya Muthia Datau yang juga artis, yang kemudian menjadi istri aktor Herman Felani.
Juga sama-sama menonton ke Senayan untuk menyaksikan timnas Indonesia draw 3-3 melawan tim Corinthians dari Brasil yang dimotori dokter berbadan burung bangau yang memiliki operan back heel yang ajaib, termasuk ketika menjagal tendangan penalti : Socrates. Termasuk berbagi trik a la Indonesia tentang bagaimana bila kita ingin menjadi seorang wasit yang segera mudah terkenal.
Bakhuri bilang : “Bayar saja pemain untuk memukuli diri kita !”
Bakhuri kini bicara tentang suporter sepakbola Indonesia. Tulisnya : “Oh ya, bagaimana masalah suporter sepakbola ? Kini kok jadi tren ya, tawur antarsuporter, tawur suporter vs warga sekitar stadion, tawur suporter sesama klub yang sama, tawur suporter Persija vs warga Ciputat, tawur suporter Persitara vs warga Kuningan Jakarta Selatan, dan tawur bonek vs stasiun kereta api, bagaimana ini ?
Aneh lagi, jenis sanksi yg diterapkan adalah PERTANDINGAN SEPAKBOLA TANPA PENONTON. Aneh tapi nyata ! Pasti BH bisa mengupas masalah tersebut !"
Terima kasih, Bakhuri.
Saat insiden rombongan kereta api bonek Surabaya-Bandung pp mencetuskan huru-hara, harian Jawapos memuat artikel Dr. Sonny Elizaluchu, MA, berjudul “Kekerasan kolektif bonek” (Jawapos, Senin, 25 Jan 2010 : 6). Hari Minggu, 24/1, saya mengirimkan artikel ke koran Solopos berjudul “Ancaman Bonek dan Sepakbola Kita,” tetapi nampaknya malah tidak dimuat.
Berita terbaru di Suara Merdeka kemarin (1/2/2010), oknum suporter Semarang ditangkapi karena melempari bis yang ditumpangi suporter Persijap, Jepara. Harian Jawapos (1/2/2010) lalu menyajikan bahasan fenomena aksi anarkis bonek, suporter Persebaya, dalam pandangan guru besar UNAIR emeritus, Prof. Sutandyo [“kalau kau masih ingat, istri beliau, almarhumah Ibu Asmi Tandyo yang ramah itu, pernah menjadi muridku dalam mata kuliah Media Teknologi, di JIP-FSUI”).
Insiden saat rombongan kereta api bonek Surabaya-Bandung pp yang diadang masyarakat Solo yang marah (“lalu diberi label sebagian dari mereka adalah suporter Pasoepati asal Solo”), 23-24/1/2010, juga mengimbas kepada diri saya. Kolom boks bengok blog saya, Suporter Indonesia ramai dengan komentar berisi sebutan binatang yang menyalak.
Lucunya, pengirimnya yang berlabel “pasopati anjink” tetapi isi pesannya berupa omelan tentang “diri sendiri” : “Pasopati emang idiot, masa kereta GBM yang isinya penumpang biasa di lempari dan dibakar, isinya banyakan ibu2x dan anak2. Dimana nurani anda?”
Saya ikut sedih.
Saya pun prihatin atas kejadian di atas.
Pasoepati yang berbuat anarkis, juga harus dikutuk. Bahkan harus pula dihukum, seperti suporter Solo yang pada tahun 2000 berbuat anarkis dengan membakar mobil milik pendukung Semarang. Ia meringkuk selama 20 bulan di penjara. Aksi hukum tegas ini, sayangnya tak pernah merembet ke kota-kota lain.
Berbicara tentang nurani kelompok suporter, sebuah definisi berikut ini mudah-mudahan dapat menjelaskan. Bahwa gerombolan orang-orang atau mob adalah : an angry group with many hands but no brains. . Gerombolan merupakan sekelompok orang yang marah, yang memiliki banyak tangan tetapi sama sekali tidak memiliki otak.
Kalau Anda belum pernah menjadi suporter sepakbola secara total, Anda pasti belum merasakan ekstasi ketika kita tidak memiliki otak sama sekali. Atau bila masih punya, tinggal otak reptil kita yang masih bekerja. Itu otak paling primitif, sumber dari rasa ketakutan.
Tetapi karena kita saat itu bersama-sama : siapa takut ? Saat itu identitas diri kita lumer, atau hilang tak berbekas, kita semua lebur menjadi sebuah kelombok tribal, suku, dengan mata hanya mampu melihat bahwa suporter lain sebagai lawan yang harus kita basmi.
Untuk teorinya, carilah nama Gustave LeBon. Atau bertanya ke Mas Ito, Prof Sarlito W. Sarwono. Atau kawan saya Aji Wibowo, lulusan Sosiologi UGM yang menulis skripsi tentang denyut persaingan suporter sepakbola di Yogyakarta.
Kasarnya, saat kita bersama itu, demi sepakbola pun kita rela mati.
Yang terjadi kemarin, memang terdapat suporter bonek yang mati. Tercatat dalam tur Surabaya-Bandung 23-24/1/2010 ada yang meninggal di Madiun dan juga Purwokerto. Mereka naik di atas gerbong, lalu terjatuh kena portal. Mati yang mengenaskan.
Mungkin seperti juga nasib Beri Mardias, suporter PSP Padang asal Jatiwaringin yang tewas dikeroyok suporter Persija, tepat hari ini (2/2) 8 tahun yang lalu. Atau suporter Persija, Fathul Mulyadin (6/2/08) yang tewas dikeroyok suporter Persipura. Keduanya terjadi di Senayan. Masihkah kita mengingat mereka itu sebagai manusia ?
Mungkin tidak. Suporter sepakbola itu, ketika bersama, oleh orang lain dan oleh orang kebanyakan, seringkali bukan lagi disebut sebagai manusia. Tetapi sebagai gerombolan. Berandal. Orang-orang jahat. Yang harus mereka hindari. Orang-orang yang terkena penyakit lepra. Hina. Petugas keamanan pun hanya akan melihatnya sebagai musuh. Atau bahkan sebagai sampah.
Sebaliknya, media massa menyukai gerombolan suporter tersebut. Suporter yang naik di atas bis Mayasari, metromini Jakarta, atau di atas gerbong KRL, merupakan gambar yang catchy dan seksi untuk liputan mereka. Saya pernah mendengar seorang wartawan bilang : “Saya tidak tahu menahu tentang sepakbola. Saya dirikim ke stadion untuk berharap akan ada kerusuhan saja.”
Apalagi bila dalam kerusuhan itu ada atau banyak yang mati karena ulah ceroboh para suporter itu, wartawan dan media akan menyukainya.
PSSI juga menyukai aksi kerusuhan suporter ini. Termasuk aksi seorang suporter idiot yang masuk lapangan saat tim nasional kita kalah melawan Oman. Media-media massa kita yang juga ketularan wabah idiot justru mengglorifikasikan ulah bodoh semacam itu sebagai perbuatan hero.Katanya, ulah itu sebagai koreksi bagi PSSI dalam pengelolaan sepakbola Indonesia.
Aksi rusuh suporter itu membuat PSSI “punya kerjaan,” termasuk punya “proyek” bagi mereka. Minimal, pekerjaan menjatuhkan sangsi yang tidak bergigi bagi tim yang suporternya rusuh. Dalam bingkai besar, aksi anarkis suporter merupakan bom asap untuk mengalihkan perhatian masyarakat, sekaligus sebagai tabir untuk menutupi jeblognya kinerja Nurdin Halid dan kroninya selama ini mengelola PSSI.
“A riot is at bottom the language of the unheard.”
Kerusuhan merupakan inti bahasa mereka yang tidak terdengar.
Kata-kata pejuang hak sipil AS, Martin Luther King (1929–1968) itu membias dalam analisis Prof. Sutandyo tentang bonek. Saya kutip dari buku yang berjudul Bonek : Berani Karena Bersama (1997). Buku yang menghimpun 14 karya tulis pelbagai kalangan ini mungkin satu-satunya buku yang membahas fenomena suporter sepakbola di Indonesia.
“Bonek memang bikin kita semua pusing”, keluh Soetandyo Wignyosoebroto, guru besar emeritus Universitas Airlangga. “Tetapi mereka harus direngkuh. Anak-anak itu merupakan bagian dari warga masyarakat kita yang terampas, baik sumber dayanya, pendidikannya, asosiasi sosialnya, dan pertumbuhan kejiwaannya” (h. 13).
Suporter Solo, Pasoepati, 6 April 2000, pernah merengkuh bonek dengan cinta. Dengan penghargaaan. Kami menyambutnya secara baik-baik di Solo. Kemudian saat Pasoepati melurug ke Surabaya dengan mencarter kereta api 12 gerbong, a real glorious journey, untuk menyapa hati suporter tim asal Kota Pahlawan itu. Pasoepati saat itu membawa tagline yang dikreasi presidennya, Mayor Haristanto : “From Solo With Love.”
Dalam perjalanan, ketika tiba di Surabaya, saat bertanding, dan saat pulang, semua relatif aman dan damai. Esoknya, koran Surya (7/6/2000) terbitan Surabaya memajang foto indah : senapan otomatis anggota Brimob yang menjaga keamanan bersematkan rangkaian bunga ungu, yang kami bagi-bagikan sepanjang jalan saat Pasoepati melakukan long march,, Stasiun Gubeng-Tambaksari.
Tetapi bangunan persahabatan antarsuporter itu, juga dengan suporter lainnya, yang kami gelontorkan saat itu berdasarkan ide mulia bahwa sepakbola tak ada apa-apanya bila tanpa suporter, kini rupanya kembali lagi menjadi abu. Revolusi suporter atraktif dan bukan destruktif itu, semakin tahun tidak semakin terang nyalanya.
Di tahun 2000-an di mana saya sebagai salah satu pelaku di antara kawan-kawan seperjuangan dalam pengejawantahan gagasan itu, dalam bingkai revolusi yang dimulai dari isi kepala, antara lain dengan mencetuskan tanggal 12 Juli sebagai hari Suporter Nasional yang tercatat di MURI. Kini cita-cita itu ibarat hanya sebagai bangunan kertas belaka.
Demikian pula pesan-pesan indah dan bernas dari filmnya Andibachtiar Yusuf, Romeo dan Juliet, juga hanya ibarat olesan balsem dalam psike komunitas suporter kita.
Bangunan yang dibuat oleh tukang kayu yang terampil pun akan mudah roboh oleh sepakan segerombolan keledai. Apalagi oleh keroyokan berandal sepakbola, yang menurut ujaran penyair dan nasionalis Skotlandia Hugh MacDiarmid (1892–1978) disebut : “fanatisme dalam sepakbola dan intelektualitas yang tinggi jarang berjalan bersama.”
Justru mungkin karena rendahnya kadar intelektual tersebut yang membuat gerombolan beringas menarik untuk sengaja dipelihara. Oleh aktor-aktor intelektual tertentu. Dalam wawancara dengan jaringan Radio 68 H yang disiarkan secara nasional (5/1/2007), saya menyatakan kelompok suporter sepakbola Indonesia kebanyakan tidak independen.
Pentolannya, mencari uang (recehan) dari klub. Pentolan itu kebanyakan, walau tidak semuanya, adalah para gali. Dalam posisi seperti ini, kelompok suporter yang masif itu mudah digunakan untuk ditekak-tekuk guna mendukung agenda bos klub bersangkutan, di luar masalah sepakbola. Misalnya, untuk memenangkan pilkada.
Suporter sepakbola kita memang tidak hidup dalam ruang hampa. Penyakit kerusuhan yang kronis itu, sejatinya menguntungkan beberapa fihak tertentu. Fanatisme mereka yang dipicu oleh rasa lapar, fisik sekaligus batin, merasa tidak berharga, sementara dalam hatinya selalu berkobar api untuk melakukan balas dendam, menggiurkan banyak fihak yang berkepentingan untuk menungganginya.
Sehingga, lihatlah, terus saja terjadi pembiaran saat terjadi pelbagai aksi mereka : Mata balas mata. Darah balas darah. Tangan balas tangan. Nyawa balas nyawa. Bakar balas bakar. Luka balas luka.
Padahal seorang satiris Romawi, Juvenal (60-130 Masehi) mengatakan : “Sejatinya, tindakan balas dendam merupakan kenikmatan bagi mereka yang papa, lemah dan tipis nuraninya.”
Itulah wajah Indonesia masa kini.
Kutukan Empu Gandring tak hanya berkobaran di dunia suporter sepakbola, tetapi mudah pula ditemui di mana-mana. Dalam pelbagai sendi kehidupan bangsa ini pula.
Wonogiri, 2 Februari 2010
sumber : http://suporter.blogspot.com/2010/02/kutukan-empu-gandring-dan-suporter.html
No comments:
Post a Comment